Pro dan kontra tentang kebenaran sejarah tragedi 1965 sampai sekarang masih berlangsung. Pasca runtuhnya Orde Baru (1998), banyak kalangan sudah mulai menyangsikan kebenaran sejarah tragedi 1965 yang berkembang selama ini, para saksi sejarah pun mulai berbicara, terutama menyangkut siapa yang bertanggung jawab di balik peristiwa tersebut. Opini yang sudah terlanjur berkembang sekian lama, bahkan sudah menjadi stigma, pembunuhan para Jenderal petinggi militer (dengan dalih Dewan Revolusi) pada tahun itu didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI). Belakangan mulai mencuat dalang peristiwa tersebut adalah Soeharto bersama para korpnya. Walaupun anggapan demikian kebanyakan tidak dibarengi bukti dan data-data yang cukup otentik dan memadai, namun citra politik sudah terlanjur terbentuk demikian. Lacakan terhadap peristiwa tragedi 1965 ini menjadi penting sebagai terapi akal sehat dan pelajaran sejarah yang berharga bagi generasi mendatang.
Peristiwa 1965, selain berangkat dari persaingan kepentingan elit politik, juga disebabkan oleh perbenturan kepentingan politik di tubuh militer Indonesia yang ditandai oleh keretakan hubungan antar masing-masing struktur dan angkatan. Rentetan konflik kepentingan di tubuh militer berawal dari peristiwa Madiun 1948 di mana kekuatan PKI mulai dipreteli, puncaknya meletus skenario G 30 S PKI 1965.
Kondisi ini membuat arah politik Indonesia mulai dikendalikan oleh setting politik luar negeri (baca : Amerika dan sekutu) sebagai konsekwensi dari kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menempatkan tentara-tentara KNIL atau tentara kerajaan Hindia Belanda masuk sebagai pemegang kendali politik militer. Situasi lain yang mendukung adalah meletusnya pemberontakan di beberapa daerah, seperti Kahar Muzakar, Kartosuwiryo, PRRI/Permesta yang berlarut-larut, sebagai protes atas “RERA” (perampingan tubuh militer) yang meminggirkan para laskar rakyat, karena tidak masuk menjadi tentara resmi (TNI). Pemberontakan di beberapa daerah tersebut kemudian dijadikan dalih oleh elit militer Angkatan Darat (AD)—waktu itu di bawah komando A.H. Nasution—untuk mendesak Presiden Soekarno memberikan andil besar terhadap peran politik tentara guna mengatasi keadaan.
Tidak lama dari kekacauan di daerah-daerah, muncul keputusan Staat van Orloog en Beleeg (SOB) tahun 1957, semacam Undang-Undang Keadaan Perang yang berlaku di seluruh Indonesia. Berbarengan dengan kebijakan SOB yang justru berdampak memperkeruh keadaan, digulirkan isu “sita modal asing” yang masih bercokol di perusahaan-perusahaan perkebunan dan tambang untuk diambil alih, kemudian dinasionalisasi untuk kepentingan negara. Gayung bersambut, momentum ini direbut oleh kekuatan militer yang sudah menyebar di kantong-kantong politik daerah. Kebijakan SOB ini kelak menjadi salah satu alasan lahirnya konsep organisasi teritorial Kodam, Korem, Kodim dan Koramil.
Dalam situasi yang tidak menentu tersebut, Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Saat itu kekuatan militer mulai dilirik oleh partai-partai besar seperti NU, Masyumi, PNI, PSI dan Parkindo untuk mengimbangi kekuatan politik yang ada di daerah-daerah, lebih-lebih Soekarno menerapkan demokrasi terpimpin, yang mengesampingkan peran kekuatan partai dalam tubuh kabinet. Akibatnya permainan politik yang berjalan di luar adalah model politik jalanan. Persaingan politik di tingkat bawah terus memanas ketika tahun 1959 PKI mulai menggalang program politik semisal Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan land reform ke dalam agenda politik di tingkat basis. Gencarnya aksi sepihak perebutan tanah awal-awal 1960-an oleh PKI lewat Barisan Tani Indonesia (BTI) dipandang mengancam bagi kepentingan politik partai-partai lain seperti NU, Masyumi, PNI, Parkindo dan lain-lain. Ketegangan yang ada di bawah, dibaca oleh tentara sebagai momentum untuk menguasai keadaan dan mengipasi situasi ke arah konflik horisontal antar kekuatan politik partai. Warna kebijakan dan jargon politik yang digunakan oleh Soekarno memang menempatkan PKI sebagai rekanan politik untuk mengimbangi kuatnya tekanan dan pengaruh politik militer yang dimainkan oleh A.H. Nasution. Belum lagi atmosfer politik internasional yang semakin keras ketika Amerika juga ikut memainkan setting politik nasional secara tidak langsung lewat agennya (CIA) di tubuh militer AD untuk membendung pengaruh komunisme Soviet dan Beijing. Dari sana faksi A.H. Nasution mendapat akses besar untuk masuk pada wilayah strategis sosial, politik dan ekonomi di samping pertahanan dan keamanan.
Selain itu, ada beberapa peristiwa penting di tingkat elit militer Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU) yang menggiring kepada pecahnya drama politik G 30 S PKI, di antaranya : Pertama, kampanye Soekarno “Ganyang Malaysia” (September 1963) untuk mamobilisasi tentara dan rakyat secara massif. Taktik ini dirasa penting untuk mengurangi dominasi AD, karena lebih memegang peran daripada AL dan AU. Bahkan usaha ini membuat hubungan ketiga angkatan itu semakin menegang. Hal ini ditunjukkan dengan tidak hadirnya AD dalam agenda “Ganyang Malaysia”. Bagi AD agenda tersebut sangat tidak strategis karena pihak Amerika yang sudah menjalin hubungan secara dekat dengan AD tentu akan membantu Inggris yang pada waktu itu masih berkuasa atas Negeri Tetangga itu. Kedua, polemik berkepanjangan tentang usulan PKI membentuk “angkatan kelima”. Usul itu secara sengit ditolak AD tetapi didukung oleh AL dan AU, bahkan menurut Soekarno, hal itu perlu sebagai konsekwensi dari perang total dengan Neokolonialisme Amerika, Inggris dan sekutunya. Bila pembentukan itu terjadi, maka posisi AD terancam dan menguntungkan PKI. Ketiga, isu “Dewan Jenderal” yang digulirkan untuk menohok faksi di tubuh militer yang mendukung garis politik Soekarno. Keempat, peran agen intelijen Amerika (CIA). Tidak dipungkiri, andil Amerika dengan CIA-nya lewat tubuh AD begitu besar dalam penyusunan skenario besarnya. Penilaian demikian diperkuat oleh beberapa penelitian yang dilakukan oleh para akademisi dari Universitas Cornell, Ithaca New York Amerika Serikat. Bahkan dari hasil penelitian tersebut Benedict Anderson pernah mengatakan “Bahwa Soeharto dan pimpinan AD bertanggung jawab atas pembunuhan ini, itu jelas”. Alasannya, peran Soeharto waktu itu cukup strategis, sebagai pangkostrad, ia memegang komando pasukan untuk melakukan sebuah peperangan. Ungkapan tersebut diperkuat dengan salah satu data hasil otopsi jenazah para Jenderal yang dibunuh pada pagi buta 1 Oktober 1965, tidak menunjukkan bukti adanya penyiksaan secara kejam terhadap tubuh para perwira tinggi tersebut. Hasil otopsi menunjukkan bahwa mereka dibunuh dengan “tembakan peluru” bukan dengan siksaan seperti yang diberitakan oleh banyak media massa dan opini yang berkembang selama masa Orde Baru.
Pembacaan ini setidaknya memperlebar cara pandang, bahwa peristiwa sejarah tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja. Lebih-lebih bila sudut pandang itu dibuat secara sengaja dan tunggal oleh rezim yang tengah berkuasa, tentu banyak fakta yang semestinya diungkap akan dikunci rapat-rapat. Sebuah cara yang sangat tidak mendidik bagi generasi mendatang.
Semoga bermanfaat.
Silahkan baca juga Sejarah Terjadinya Perang Maluku
Read more ...