Showing posts with label Pemikiran. Show all posts
Showing posts with label Pemikiran. Show all posts

Friday, 11 July 2014

MEMILIH PEMIMPIN YANG AMANAH

Memilih pemimpin yang amanah memang bukan pekerjaan yang mudah tapi bukan hal mustahil yang bisa kita lakukan. Seorang pemimpin memang wajib bersifat amanah, karena jabatan/kekuasaan adalah suatu amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Sebagai pelajaran sekaligus renungan bagi kita, mari kita perhatikan jawaban surat yang diajukan Umar Ibn Abdul Azis (tatkala diangkat menjadi seorang khalifah) kepada seorang ulama besar yang bernama Hasan al-Basri.
Al-imamul adil, wahai amirul mukminin, bagaikan ibu
yang belas kasih terhadap anaknya; rela menanggung beban mengandung 
dan melahirkannya; mendidiknya penuh kesabaran;
menjaganya siang malam; gembira bila anak-anaknya sehat dan
sedih ketika ada keluhan sakit darinya.
Potongan kalimat di atas adalah sebagian isi jawaban surat dari Hasan al-Basri kepada Umar Ibn Abdul Azis. Keingina yang kuat dalam diri Umar Ibn Abdul Azis agar dapat menjalankan amanah dengan baik, membuat dirinya bersegera menulis surat kepada ulama Hasan al-Basri untuk memohon petunjuk tentang bagaimana seharusnya memnjadi pemimipin yang amanah dan adil.

Dalam sejarah kita tahu bahwa Umar Ibn Abdul Azis merupakan seorang khlalifah yang sukses dalam memimpin, tidak hanya dalam bidang politik, melainkan pula dalam bidang ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, serta keamanan. Mencermati surat di atas, memang tepat sekali perumpamaan yang dipilh oleh ulama besar Hasan al-Basri mengenai sosok pemimpin pada rakyatnya. Yaitu seperti seorang ibu yang penuh kasih sayang pada sang anak, begitu juga seharusnya seorang pemimipin pada rakyatnya. Penuh perhatian pada rakyat merupakan sebuah sifat yang seharusnya ada dalam diri seorang pemimpin. Sehingga kekuasaan yang berada pada tangannya dijadikan alat guna mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya, dan bukan sebaliknya. Yaitu menjadikan dirinya sebagai prioritas utama dalam menggapai kesejahteraan, kemudian baru rakyatnya.

soekarno, hatta

Dalam kaitan inilah, tepat kiranya jika kita mengambil pelajaran dari sosok Nabi Muhammad saw. yang menjadikan diri beliau seorang pemimpin yang merasakan lapar lebih dahulu, dan merasa kenyang di saat umatnya telah merasa kenyang. Artinya, kepentingan dan kesejahteraan umatlah yang menjadi prioritas utama dalam menjalankan roda kepemimpinannya. Hal itu dapat dibuktikan antara lain dengan tidak adanya istana dan singgasana yang dimiliki oleh Nabi Muhammad saw. Bahkan alas beliau pun hanyalah pelepah kurma yang membekas di tubuh beliau, bukan kasur empuk, sebagaimana dimiliki oleh para pemimpin atau penguasa lainnya.

Dalam kaitannya dengan hajatan pemilihan presiden dan wakil presiden di republik ini, dimana proses pemilihannya dilakukan secara langsung, menjadi tugas kita bersama untuk menentukan pilihan pada calon pemimpin yang kita anggap dapat mengemban amanah serta dapat mengemban tugas dengan baik. Paling tidak, apa yang telah dilakukan oleh para kandidat presiden dan wakil presiden pada masa silam, dapat menjadi rujukan kita dalam menentukan pilihan. Sifat-sifat yang lebih mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, golongan dan partainya, merupakan diantara pertimbangan kita dalam menentukan pilihan pada calon pemimpin negeri ini. Sehingga harapan dan keinginan kita bersama agar negara ini keluar dari krisis yang berkepanjangan (terutama agar negara ini bebas dari korupsi yang sangat menyengsarakan rakyat), bukanlah hanya sebuah impian indah semata. Semoga bermanfaat.
Silahkan baca juga Renungan Untuk Para Pejabat  


    
Read more ...

Thursday, 29 September 2011

REKONSTRUKSI MAKNA JIHAD

Rekonstruksi Makna Jihad dalam artikel ini mencoba menguraikan makna jihad yang sebenarnya yang selama ini terkikis oleh makna jihad dalam arti sempit. Mendengar kata-kata jihad, bayangan kita seolah menuju pada sebuah pertempuran yang dahsyat dengan senjata yang dilakukan untuk membela agama, atau dalam istilah yang lebih khusus disebut perang sabil. Dalam bahasa Inggris kata jihad diterjemahkan dengan sebutan holly war (perang suci), kata ini semakin memperlihatkan jihad dalam makna yang mengerikan. Maka tidak heran jika dunia barat melihat jihad sebagai kata-kata yang sangat ditakuti dan bermakna sangat negatif; identik dengan perang, pedang, darah, dan kematian.

Jihad memang bisa dimaknai dengan perang mempertahankan agama dari serangan orang kafir atau musyrik. Jihad dalam konteks ini, dalam istilah Arab disebut qital atau sabilillah. Tetapi qital hanya merupakan bagian saja dari jihad, masih banyak bagian-bagian lain yang masuk dalam kategori jihad. Bahkan Nabi Muhammad saw. setelah perang Badar mengatakan bahwa jihad terbesar bagi umat manusia adalah jihad melawan hawa nafsu. Artinya jihad bukan berarti perang fisik.


makna jihad, jihad

Kata-kata jihad, belakangan ini, lebih sering digunakan setelah lebih dari setengah abad lengang dari perbincangan orang. Maraknya kerusuhan-kerusuhan antar-kelompok di berbagai daerah salah satunya disebabkan oleh isu agama. Bahkan di daerah yang tidak dilanda kerusuhan pun, kata-kata jihad menjadi sering dipakai dalam aksi-aksi solidaritas. Kata-kata ini menjadi sangat efektif untuk menyentuh sisi emosi keagamaan. Sehingga kata-kata ini mudah sekali untuk memobilisasi massa. Entah untuk aksi massa atau untuk pengiriman-pengiriman ‘pasukan’ bantuan.

Kata jihad memang mempunyai daya dorong yang cukup dahsyat, sebagaimana halnya kata Allahu Akbar, merdeka, dan semacamnya. Menurut teorinya sastrawan Sutarji Calzoum Bachri “pada dasarnya tiap kata itu adalah mantra”, maka kata jihad termasuk kategori kata yang mempunyai kekuatan provokatif untuk membangkitkan semangat umat Islam. Kita bisa mengakui kalau resolusi jihad yang dibuat Hasyim Asy’ari ternyata mampu membangkitkan perlawanan arek-arek Surabaya terhadap sekutu, demikian juga semangat perlawanan terhadap kolonialisme yang dilakukan oleh pesantren-pesantren, didasari pada semangat jihad (semangat memperjuangkan agama).

Perbedaannya, kalau dulu, jihad digunakan untuk membangkitkan semangat perlawanan terhadap penjajah, maka sekarang jihad digunakan untuk membangkitkan perlawanan sebagian golongan terhadap golongan lain sesama bangsanya sendiri, meski dengan dasar sentimen agama. Jihad bukan lagi diarahkan sebagai perlawanan terhadap penindasan, akan tetapi menjadi persoalan eksistensi dan emosi, sehingga subyektifitas seseorang menjadi dominan. Ujung-ujungnya adalah pembelaan terhadap kepentingan sendiri atau kelompoknya agar bisa berkuasa.

Dalam al-Qur’an kata jihad disebut sampai 35 kali, menunjukkan betapa pentingnya kata ini. Bahkan di dalam training-training perkaderan organisasi Islam biasanya ada materi khusus yang membahas mengenai hal ini. Materi ini dimaksudkan untuk memberikan pengertian kepada kader tentang ruhnya. Bahwa dalam melakukan segala aktivitas, kita harus mengawalinya dengan sebuah niat yang tulus. Namun pemaknaan jihad yang sempit selama ini menjadikannya bernuansa negatif dan banyak yang enggan menggunakan kata-kata itu. Sayyid Hossein Nashr menyebutkan, terjemahan kata jihad yang selama ini kita lihat telah mempersempit makna keseluruhannya. Orang Barat telah menghilangkan sisi makna spiritual jihad. Padahal dengan pemaknaan dari sisi ini, jihad akan menjadi energi yang sangat kuat bagi kebangkitan Islam tanpa melalui kekerasan.

Jihad dalam arti yang lebih luas berarti sebuah kegiatan dengan mencurahkan segala kemampuan. Apapun bentuk kegiatannya, yang penting segala bentuk kerja yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, itulah yang dinamakan jihad. Misalnya, bekerja mencari nafkah, berpikir, belajar, bertani, berdagang, dan sebagainya.

Terjadinya penyempitan makna jihad sebenarnya merupakan salah satu bentuk dari adanya penindasan pemaknaan yang dilakukan oleh Barat. Persepsi terhadap kata jihad yang identik dengan perang menenteng senjata, melahirkan kesan bahwa Islam merupakan agama yang dibawa dengan kekerasan dan pedang. Stigma (cap buruk) perang Salib di mana Islam dan Kristen berhadapan secara frontal masih menguasai alam bawah sadar mereka. Lukisan bahwa Islam itu kejam, penuh dengan darah menjadi semakin kental dengan adanya penyempitan makna seperti ini.

Ada yang mengatakan bahwa jihad merupakan rukun Islam keenam dan menjadi penyempurna bagi keislaman seseorang, karena dengannya ia akan selalu konsisten dalam memperjuangkan idealismenya. Turunan ketiga dari makna pensyahadatan tauhid adalah jihad. Setelah orang percaya tentang adanya sang khaliq (pencipta), maka ia akan menjadi percaya dan meyakini dengan mantap, itulah yang disebut iman. Dari sini kemudian timbul semangat baginya untuk melakukan tugas-tugas kekhalifahan yang didasari oleh kesadaran akan peran-perannya. Tumbuhnya semangat jihad akan dimulai dari adanya kesadaran-kesadaran ini. Berjihad merupakan sebuah bukti akan kejelasan orientasi dan tujuan seorang manusia akan segala perbuatan yang ia lakukan.

Berjihad berarti melakukan tugas kekhalifahan yang dikerangkakan dalam bentuk, alur dan tujuan yang jelas. Apapun bentuk perannya, kalau sudah terkerangkakan sedemikian rupa, maka segalanya akan menjadi indah. Bahkan peran seberat apapun akan selalu dijalankan dengan penuh semangat karena dilakukan dengan penuh kesadaran. Pengorbanan menjadi sesuatu yang diharapkan, bukan sesuatu yang dihindari. Baginya pengorbanan adalah bentuk pemasrahan “cinta”, bukan sekedar konsekuensi dari perjuangan. Ada sesuatu yang dipunyai dalam dirinya sehingga membangkitkan sebuah energi perjuangan yang sangat tinggi. Itulah jihad, melakukan tugas kekhalifahan dengan semangat kesungguhan yang paripurna.

Idealnya setiap orang Islam memahami konsep jihad ini. Sehingga dalam hidupnya memiliki orientasi yang jelas. Bentuk peran yang dijalankan adalah bagian dari proses saja. Pada dasarnya setiap manusia mempunyai tujuan yang sama, mencapai kesempurnaan hidup dan kebahagiaan, di situlah setiap orang melakukan pengabdian (ibadah). Dan pengabdian adalah kemanusiaan yang membawa orang mencapai ketakwaan. Sehingga dengannya manusia benar-benar menjadi termanusiakan. Tidak seperti sekarang ini, seakan jihad hanya milik orang-orang tertentu saja. Orang hanya dianggap berjihad jika sudah bersedia berangkat ke medan perang. Dan para petani yang menggarap sawahnya untuk menafkahi keluarganya tidak dianggap jihad. Demikian artikel tentang rekonstruksi makna jihad. Semoga bermanfaat.
Silahkan baca juga Ibadah Puasa Kita Dijadikan Sarana Komersialisasi

Read more ...

Sunday, 14 August 2011

RENUNGAN UNTUK PARA PEJABAT



Kekuasaan seringkali memabukkan dan membingungkan. Orang yang memegang kekuasaan (pejabat) seringkali sulit membedakan mana yang milik pribadi dan mana yang merupakan fasilitas negara. Akibatnya, banyak aktifitas pejabat yang sifatnya pribadi tetapi menggunakan fasilitas yang dibiayai negara.

Umar bin Khattab, salah seorang khalifah dari al-Khulafa al-Rasyidin memberikan tauladan yang baik tentang bagaimana seharusnya menjadi pejabat. Diceritakan bahwa suatu malam sahabat Umar bin Khattab didatangi saudaranya. Ketika itu ia sedang mengerjakan tugas negara di ruang pribadinya. Dengan diterangi lampu minyak, ia menyelesaikan beberapa berkas negara. Lalu datanglah saudaranya itu dan bermaksud bertemu dengan khalifah karena ada hal yang ingin disampaikannya.

“Kamu ingin membicarakan masalah keluarga atau masalah negara?” kata Umar  bin Khattab kepada saudaranya itu. Lalu dijawab bahwa ia akan membicarakan persoalan keluarga dengan sang khalifah. Seketika itu juga lampu di depannya ia matikan.


renungan untuk pejabat

Melihat kejadian itu, saudara Umar bin Khattab tersebut heran lalu bertanya : “Wahai khalifah, kenapa engkau matikan lampu itu?”. Dengan suara rendahnya Umar bin Khattab menjawab : “Apa yang ingin kau bicarakan adalah urusan keluarga bukan urusan negara. Sedangkan lampu ini dibiayai oleh negara. Maka tak selayaknya pembicaraan ini menggunakan fasilitas negara”. Mendengar perkataan Umar bin Khattab, saudaranya itu pun terkejut dan hanya diam sambil merenungi perkataan Umar bin Khattab.

Kisah itu mungkin dianggap terlalu sederhana dan tidak wajar. Tetapi dari kisah itu lahir tauladan yang mulia bahwa kekuasaan tak selayaknya untuk urusan pribadi. Bagi sahabat Umar bin Khattab saat itu sangat mudah memanfaatkan apa yang diberikan negara untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, karena kekuasaan saat itu penuh berada di tangan Umar bin Khattab. Tetapi itu tidak beliau lakukan. Sebab Umar bin Khattab sadar bahawa apa yang diamanatkan kepadanya akan dimintai pertanggungjawaban.

Rasulullah saw. telah menegaskan bahwa setiap yang diamanatkan kepada seseorang pasti akan dimintai pertanggungjawabannya, termasuk seorang imam (pemimpin), ia akan dimintai pertanggungjawaban perihal apa yang pernah ia lakukan ketika memimpin.

Dalam sejarah disebutkan terdapat sebuah nasehat ulama besar al-Hasan putra al-Hasan al-Bashri kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dalam suratnya, al-Hasan menulis : “Ketahuilah, wahai Amirul Mukminin bahwa Allah swt. menjadikan imam sebagai penegak segala yang rubuh, pelurus segala yang bengkok, pelaku perbaikan segala yang rusak, kekuatan bagi semua yang lemah, keadilan bagi yang teraniaya, serta tempat berlindung bagi semua yang takut”.

Surat nasehat itu menegaskan bahwa kepemimpinan bukanlah suatu keistimewaan, tetapi tanggung jawab. Ia bukan fasilitas, tetapi pengorbanan. Ia bukan juga bukan kesewenang-wenangan bertindak, tetapi kewenangan melayani. Kepemimpinan adalah keteladanan berbuat dan kepeloporan bertindak. Semoga bermanfaat.
Silahkan baca juga Memilih Pemimpin Yang Amanah
Read more ...

Saturday, 25 June 2011

AN APPROACH TO THE STUDY OF RELIGION

There is a crucial question about the study of religion. The question is “Is it possible to study religion scientifically?” Religion is a social phenomenon as are politics, economics, psychology, anthropology and the like. These social sciences can be studied scientifically, so can religion. Religion is a universal phenomenon and is the most important ingredient in the study of human life.

There are two approaches to the study of religion. These approaches are linked through the unbroken line of the two extremes. The first approach is normative and the other is descriptive. The normative approach is based on the criteria of what is true and good and what is bad, what one ought to do and ought not to do. This is based on the personal internal experiences of the religion founder or the messenger in contact with the divinity; the transcendental experience. This approach can be looked at two ways. The first one is theology, that is an attempt to give a systematic traditional expression of religious experience. In Islam it is called the “aqa’id”, something which must be accepted and believed. The second way is religious ethics or moral behaviour: how to act with one’s fellow man. The second approach is descriptive which is based on intellectual curiosity rather than on belief.


study of religion

There are a number of disciplines which will help in understanding religion. The first is the history of religion: looking at religious behaviour historically. The second is the psychology of religion: understanding the mental process and feeling of religious people, and the last is the sociology of religion: trying to understand how religious groups organized themselves, the role of religious institutions, religious leaders, law, and the state. Using the descriptive approach, it is possible to study religion scientifically.

(Adapted from a lecture by Prof. Dr. Charles J. adams)
Read also Rekonstruksi Makna Jihad
Read more ...

Sunday, 19 June 2011

EQUALITY IN ISLAM

Islam considers all human beings as equal. There is no difference between them because of race, colour, or tongue. All of them belong to one family and come from origin.

This was not the case before Islam came to the Arabian peninsula. Before Islam, each tribe considered its members to be superior to those of other tribes, and this made life very difficult between them. They could not deal with each other properly, and they led a difficult life; there was severe fighting almost continuously between the tribes of Arabia because of their attitude towards one other. Might was right, so the weak had practically no rights.

When Islam came, it was a long step towards correcting the attitudes of the Arab people, and making them aware of their brotherhood with others. The poorer people and the humbler tribes were quick to follow the Prophet because they saw in Islam a hope of leading a good life, for in Islam they heard something they had never heard before. The voice they heard gave them hope that people could live as equal human beings.

But at the same time, their accepting Islam was a reason for the leaders of the tribes to object to the call of the Prophet, because it was hard for them to consider these weaker people as their brothers.


equality Islam

The Prophet himself emphasized this by his actions and his behaviour, by treating all human beings as his equals, even his slaves. There is an interesting story about this. It is related that the Prophet’s wife, Khadija had a slave called Zaid, whom she gave to the Prophet to help him with his personal affairs. The Prophet treated him as his son, and the youth never left he was a slave. According to the law of Arabia before Islam, when war broke out between two tribes the winner could take the women and children of the defeated tribe as slaves. Zaid had become a slave on one of these occasions, and he moved from one hand to another until finally he reached the hand of the Prophet. His father and uncle were looking for him every where. At last they discovered that he was in Mecca with the Prophet Muhammad, and they went to Mecca and asked the Prophet to return Zaid to them.

They offered the Prophet whatever he wanted as exchange for the boy. When the Prophet heard this, he called Zaid to him and said: “This is your father, and this is your uncle.”

Zaid recognized them, and said he knew who they were. The Prophet said: “If you want to go with him, you are free to go, and if you want to stay, you are welcome to stay.” The Prophet left the choice with the boy, and what Zaid answered astonished his father and his uncle: Zais refused to go with them, and said to the Prophet: “I will never prefer anyone to you, not even my father.” His father and uncle were surprised and annoyed, and said: “What are you saying, Zaid, do you prefer slavery to freedom?”
“No,” said Zaid, “but there is no one who could treat me like the Prophet treats me!”

When the Prophet saw that, he wanted to please the father and uncle of Zaid, and he went out in public and announced that Zaid was not his slave, but his son. This shows us the new system the Prophet introduced among Arabic people, with equality for each man, no matter what his tribe or colour.
Read also An Approach to The Study of Religion
Read more ...

Friday, 3 June 2011

FILSAFAT KERASULAN NABI MUHAMMAD SAW

Filsafat kerasulan Nabi Muhammad saw. dalam artikel ini mencoba menguraikan tentang hikmah kerasulan Nabi Muhammad saw. Sebagaimana kita ketahui dalam buku-buku sejarah kebudayaan Islam atau sejarah peradaban Islam bahwasanya umat manusia berada dalam lembah kegelapan ketika Muhammad dilahirkan. Pada saat itu, ada dua kerajaan besar yang menguasai sebagian besar umat manusia : kerajaan Romawi dan Persia. Kerajaan Romawi menguasai sebagian besar bangsa-bangsa Barat. Sedangkan kerajaan Persia menguasai senagian besar bangsa-bangsa Timur. Kedua kerajaan tersebut dikuasai oleh para pemimpin yang suka menumpuk kehormatan dan kekayaan material, sementara rakyatnya dibiarkan dalam kesengsaraan. Rakyat dibebani pajak yang tinggi, tanpa belas kasihan dari para penguasanya. Pembunuhan terjadi di mana-mana, rakyat berada dalam keadaan rasa takut.

kerasulan Nabi Muhammad saw

Bangsa Arab saat itu belum berada di bawah salah satu dari dua kerajaan besar dunia pada zamannya itu. Namun demikian, mereka selalu dalam persengketaan antar kelompok, pembunuhan dan perampokan pun merajalela di mana-mana. Bahkan siapa yang dapat melakukan pembunuhan dan perampokan, dia akan dijadikan simbol kebanggaan oleh kelompoknya. Anak gadis dianggap anak pembawa petaka sehingga mereka dibunuh hidup-hidup dengan alasan khawatir di kemudian hari berbuat zina dan mempermalukan keluarga. Keadaan bangsa Arab saat itu memang amat terbelakang dan kasar.

Kehidupan keagamaan dan kepercayaan bangsa Arab di kala itu masih terdiri atas berbagai macam kepercayaan dan faham : aliran yang menyembah hewan, batu, api, bintang-bintang di langit, dan sebagainya. Sisa-sisa agama tauhid yang dibawa oleh para Nabi terdahulu tinggal sedikit jumlahnya. Bahkan di kalangan penganut agama tauhid itu pun telah diresapi oleh berbagai perubahan dan penambahan di sana sini. Berbagai bentuk bid’ah pun tumbuh subur dan terjadilah peperangan yang ditimbulkan karena masing-masing mempertahankan faham kepercayaannya.

Dalam situasi seperti terlukiskan di atas itulah Nabi Muhammad saw. diutus Allah swt. Nabi Muhammad saw. berasal dari kelompok suku bangsa Arab yang terpandang dan paling dihormati pada zamannya. Sejarah membuktikan bahwa kelahiran Nabi Muhammad saw. membawa kedamaian dan kemajuan umat manusia pada zamannya serta mengilhami kedamaian dan kemajuan umat manusia dalam berbagai bidang kehidupan umat manusia.

Melihat kenyataan sejarah seperti terlukiskan  di atas, kelahiran dan kerasulan Nabi Muhammad saw. di jazirah Arab adalah suatu kemestian sejarah sejalan sejalan dengan kehendak Tuhan. Kelahirannya di Mekah, dan dakwahnya di Mekah yang kemudian dilanjutkan di Madinah adalah suatu hal yang sesuai pula dengan situasi dan kondisi zamannya yang memberi kemungkinan yang amat besar untuk menjadikan Islam yang dibawanya menjadi agama dunia yang universal.

Rekonstruksi sejarah menjelaskan kepada kita bahwa pada pertengahan kedua dari abad keenam Masehi, jalan dagang Timur-Barat telah berpindah dari jalur Teluk Persia-Eufrat di Utara dan Laut Merah-Perlembahan Nil di Selatan, ke jalur baru : Yaman-Hijaz-Syiria. Peperangan yang senantiasa terjadi antara kerajaan Romawi (Bizantium) dan Persia telah membuat jalur Utara tidak lagi aman dan tidak menguntungkan bagi perdagangan. Mesir—mungkin juga sebagai akibat dari peperangan Bizantium dengan Persia—berada dalam kekacauan yang mengakibatkan perjalanan dagang melalui Perlembahan Nil (jalur Selatan) tidak menguntungkan pula. Dengan perpindahan perjalanan dagang Timur-Barat ke Semenanjung Arabia, maka Mekah yang terletak di tengah-tengah garis perjalanan dagang itu, menjadi kota dagang. Para pedagang pergi ke Selatan untuk membeli barang-barang yang datang dari Timur, kemudian mereka bawa ke Utara untuk mereka jual di Syiria.

Kota Mekah menjadi kota yang kaya karena memperoleh hasil yang besar dari perdagangan transit. Penduduknya adalah orang kaya dan berpengaruh dalam masyarakat. Pemerintahan Mekah terletak di tangan suku Quraisy yang dijalankan melalui majelis suku bangsa yang angota-angotanya terdiri-dari kepala-kepala suku yang dipilih berdasarkan kekayaan dan pengaruh mereka dalam masyarakat. Kekuasaan sebenarnya terletak di tangan kaum pedagang tinggi. Kaum pedagang tinggi ini, untuk kepentingan-kepentingannya mempunyai perasaan solidaritas yang kuat. Solidaritas itu kelihatan efektif dalam perlawanan mereka terhadap Nabi Muhammad saw. Pada tahun 622 M, karena tekanan dari para pemuka suku Quraisy ini, Nabi Muhammad saw. bersama para pengikutnya meninggalkan Mekah berhijrah ke Yatsrib (Madinah).

Suasana masyarakat di Yatsrib berlainan dengan suasana di Mekah. Yatsrib bukanlah kota dagang, melainkan kota petani. Masyarakatnya tidak homogen, tetapi terdiri atas bangsa Arab dan bangsa Yahudi. Bangsa Arabnya terdiri atas dua suku bangsa : Aus dan Khazraj. Antara kedua suku bangsa ini senantiasa terjadi persaingan untuk menjadi kepala dalam masyarakat Yatsrib, kota yang kemudian disebut kota Madinah. Ketidakamanan yang ditimbulkan oleh perselisihan antar dua kelompok tersebut terus berlarut-larut sehingga membutuhkan seorang hakam, yakni seorang arbiter yang netral dan adil.

Ketika pemuka-pemuka dan suku bangsa tersebut di atas naik haji ke Mekah, mereka mendengar dan mengetahui kedudukan Nabi Muhammad saw. Dalam suatu perjumpaan dengan Nabi Muhammad saw., pemuka suku Aus dan Khazraj meminta Nabi Muhammad saw. untuk pindah ke Yatsrib. Melihat kerasnya tantangan yang dihadapi Nabi Muhammad saw. di kota Mekah, akhirnya Nabi Muhammad saw. berhijrah ke Yatsrib. Di kota inilah Nabi Muhammad saw. menjadi hakam bagi kedua suku yang selalu bersengketa. Kota ini kemudian dikenal dengan nama Madinatul al-nabi (kota Nabi). Di kota inilah Nabi Muhammad saw. menjadi kepala masyarakat Madinah. Bahkan kemudian Nabi Muhammad saw. dikenal sebagai Kepala Negara Madinah.

Dengan demikian, Nabi Muhammad saw. telah mempersiapkan suatu tatanan masyarakat baru dengan seperangkat peraturan perundang-undangan dan pranata-pranata sosial yang memungkinkan berkembangnya suatu masyarakat sesuai dengan alur perkembangan sejarah umat manusia. Suatu indikator universalitas agama yang didakwahkannya. Sehingga dapat dinyatakan bahwa kelahiran Nabi Muhammad saw. sebagai Nabi dan Rasul terakhir merupakan kehendak Ilahi. Demikianlah uraian tentang filsafat kerasulan Nabi Muhammad saw. Semoga bermanfaat.
Silahkan baca juga Equality in Islam
Read more ...

Tuesday, 17 May 2011

MONOTEISME

Monoteisme secara harfiah berarti keyakinan hanya kepada satu Tuhan atau disebut juga tauhid. Al-Qur’an memperkenalkan dirinya dan kenabian Muhammad saw. sebagai puncak dan akhir dari komunikasi langsung Tuhan dengan manusia pilihan yang mendapat ilham Ilahiah. Satu fakta terpenting yang membimbing semua makhluk dan diajarkan oleh semua utusan Tuhan adalah kesaksian “tiada tuhan selain Allah”. Kesaksian ini mengandung arti bahwa banyak obyek sesembahan yang dipilih manusia tidak mempunyai otoritas atau kekuasaan yang sebenarnya, dan bahwa ketidaksetujuan serta kebencian yang timbul dari penyembahan yang salah arah ini sama sekali tidak perlu, karena hanya akibat dari ilusi manusia sendiri yang jahat dan merusak diri. Hal ini berarti, hanya ada satu standar spiritual dan moral yang menentukan nilai manusia dan hanya ada satu ukuran kemuliaan manusia.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (al-Hujurat [49] : 13)

Pesan terpenting dari ayat di atas adalah bahwa perselisihan yang kita buat dengan kelompok lain merupakan gagasan yang keliru, karena kita semua harus patuh kepada Tuhan yang sama, Tuhan Yang Maha Tinggi.

Pada abad ketujuh, masing-masing suku di jazirah Arab mempunyai tuhan (dewa) mereka sendiri yang kepadanya mereka mencari perlindungan dan kasih sayang, dan kepadanya pula mereka memohon pertolongan dalam perseteruan abadi antar-suku. Mereka pada akhirnya menerima ajaran tauhid (monoteisme) Islam untuk mempersatukan faksi-faksi yang selalu berperang.


monoteisme islam


Monoteisme Islam tidak hanya menuntut kita menerima Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga menerima konsekuensi yang semestinya : semua orang, laki-laki dan perempuan, adalah sama di bawah otoritas Tuhan. Dua tuntutan ini, ke-esaan Tuhan dan kesatuan manusia, sepanjang sejarah sulit ditegakkan di dalam tradisi agama, seperti dalam kasus agama Yahudi dan Nasrani yang begitu nyata ditunjukkan dalam al-Qur’an.

Kisah Bani Isra’il merupakan cerita tentang suatu bangsa yang mau menerima monoteisme, sekalipun mereka hidup di tengah-tengah lingkungan pergaulan yang didominasi oleh penyembahan berhala. Pengaruh dari luar kerap masuk ke komunitas mereka dan menyebabkan mereka terkadang ragu-ragu dengan ajaran nabi-nabi mereka. Dalam al-Qur’an, mereka muncul sebagai suatu bangsa yang terus-menerus berjuang di antara monoteisme murni dan tekanan-tekanan paganisme. Kondisi ini menjelaskan mengapa mereka mengisolasi diri dari lingkungan sosial mereka dan berupaya memelihara dan melindungi kemurnian ras dan budaya mereka. Tetapi mereka kemudian, dengan mengenyampingkan bangsa-bangsa lain, memandang diri mereka sebagai bangsa pilihan Tuhan. Akibatnya mereka tidak pernah bisa menerima utusan Tuhan yang terakhir, karena dia bukan berasal dari bangsa Yahudi, walaupun pesan-pesan esensialnya ada dalam kitab suci mereka, dan al-Qur’an pun menyalahkan mereka atas pengingkaran itu. Singkatnya, agama Yahudi, sekalipun berhasil dalam menjaga keimanan kepada satu Tuhan, tidak dapat menerima kesatuan manusia di bawah Tuhan.

Agama Nasrani berangkat dari akar kitab suci yang sama. Tetapi, Nasarani adalah agama universal. Pertalian ajarannya bersumber dari suatu kerinduan spiritual yang intens untuk mengenal dan dicintai Tuhan. Kesulitan terbesar yang dihadapi oleh agama-agama yang universal seperti itu adalah sangat beragamnya bangsa-bangsa yang diserapnya. Para pemeluk barunya membawa bahasa, ide-ide, simbol-simbol, dan budaya mereka sendiri. Meskipun ajaran ini sangat ingin merangkul semua manusia, tapi prinsip-prinsipnya membahayakan monoteisme murni dan terlalu mudah untuk menyekutukan sesuatu dengan Tuhan. Dengan demikian, pengalaman agama Yahudi-Nasrani menunjukkan dilema yang dihadapi oleh semua agama dunia : ke-esaan Tuhan dan universalisme selalu terancam dalam upaya menjaga salah satunya.

Persoalan mempertahankan kedua aspek monoteisme ini memperjelas berakhirnya misi kenabian dengan nabi akhir zaman, Nabi Muhammad saw. Selama suatu agama merasakan adanya kebutuhan wahyu baru di masa mendatang, maka pintu bagi nabi-nabi palsu terbuka. Para pendusta dan pribadi-pribadi yang menipu diri sendiri selalu muncul untuk menyesatkan manusia lain dan memecah belah umat. Sumber perpecahan yang besar ini mengancam persatuan para penganut agama tersebut lebih dalam dan langgeng daripada perselisihan soal hukum apa pun. Setiap agama besar, termasuk Islam, telah mengetahui bahaya ini, namun berakhirnya misi kenabian dengan diutusnya Nabi Muhammad saw. betul-betul mengunci kecenderungan ini. Seorang pemimpin muslim saat ini mungkin mendapatkan penghormatan dan kesetiaan dari banyak pengikutnya, tetapi ia tidak mungkin memperoleh kepercayaan mutlak dari mereka—suatu kesetiaan absolut yang dicapai karena suatu persepsi bimbingan Ilahiah. Saat seorang pemimpin mengklaim memperoleh status seperti itu, gerakannya pasti berakhir menjadi suatu sekte keagamaan yang remeh dan terputus dari komunitas muslim. Banyak sarjana Barat menunjuk gerakan-gerakan seperti Bahai dan Qadiyani, sebagai sekte-sekte Islam, meskipun penunjukan itu tidaklah pas dan menyesatkan. Dunia muslim tidak menganggap kelompok ini sebagai alternatif, di dalam komunitas muslim; mereka dianggap benar-benar berada di luar Islam. Tidak ada satu pun dari gerakan semacam itu yang menarik banyak orang Islam, walaupun mereka mungkin mendapatkan pemeluk-pemeluk baru dari populasi lain. Hal ini disebabkan keimanan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai nabi terakhir dan penutup merupakan salah satu prinsip ajaran Islam.

Syahadat adalah hal pertama yang harus dilakukan untuk menyatakan keimanan dalam Islam. Kesaksian ini dinyatakan paling tidak sembilan kali sehari oleh orang muslim dalam shalat mereka. Di paro pertama syahadat, seorang muslim bersaksi bahwa “tidak ada tuhan selain Allah”, sedang di paro kedua ia bersaksi bahwa “Muhammad adalah utusan Allah”. Dengan pernyataan kedua itu, seorang muslim memahami bahwa Nabi Muhammad saw. bukan hanya utusan Allah, tapi juga nabi terakhir dan satu-satunya manusia yang harus diikuti. Jadi, syahadat menghubungkan monoteisme Islam dengan finalitas risalah Nabi Muhammad saw. Dari sudut pandang orang muslim, kerasulan Muhammad saw. diperlukan demi tegaknya kesaksian terus-menerus di dunia terhadap kedua implikasi monoteisme tadi—ke-esaan Tuhan dan kesatuan manusia—dan berakhirnya kenabian dengan kenabian Muhammad saw. diperlukan untuk mempertahankan dan menjaga kesaksian itu dari fragmentasi di kemudian hari. وَاللهُ اعلم
Silahkan baca juga Filsafat Kerasulan Nabi Muhammad SAW            
   
 
Read more ...

Friday, 29 April 2011

IBADAH PUASA KITA DIJADIKAN SARANA KOMERSIALISASI

Sudah menjadi rutinitas, ketika bulan Ramadhan tiba, suasana islami terlihat di mana-mana. Suasana islami tidak hanya terlihat di tempat-tempat ibadah saja, tapi juga di pasar, mall, televisi, radio, surat kabar, dan tempat-tempat umum lainnya.

Suasana islami seperti itu sudah menjadi identitas bulan Ramadhan di Indonesia. Sehingga bukan tidak mungkin, seseorang tidak merasa berpuasa secara sempurna ketika misalnya pada bulan itu tidak memakai baju koko, tidak memakan kurma, kolak, atau tidak mendengarkan lagu-lagu islami.

Kebutuhan untuk menyambut bulan puasa inilah yang kemudian secara cerdik dijadikan potensi bisnis yang luar biasa oleh kalangan industri. Segala macam suasana, bahkan yang bersifat "religius" sekalipun dapat dijadikan ceruk bisnis. Begitulah, para pedagang secara tak kasat mata menyelinap ke berbagai sisi kehidupan kita, hampir setiap detik. bulan Ramadhan dikemas dan dicitrakan sedemikian rupa sehingga bisa mengeruk keuntungan material bagi para pelaku industri.


ibadah puasa, puasa ramadhan


Sadar atau tidak, banyak dari kita yang terlena untuk ikut menikmati bungkus Ramadhan. Sesuatu yang tak perlu, karena untuk mengejar keuntungan semata bisa dibuat seakan-akan umat muslim butuh. Model terbaru baju muslim dan kebutuhan penampilan lain dari anak-anak hingga nenek-nenek diiklankan berbagai media tiap detik, mencecar pikiran hingga terbentuk pola pikir bahwa puasa kurang afdhal tanpa tampilan tersebut.

Sementara itu, makna puasa yang hakiki bersunyi-sunyi di pojok, tersumbat oleh berbagai acara seremonial karena jarang orang yang menengok. Puasa lebih banyak dimaknai sebagai ritual tahunan di mana pada siang hari orang menahan diri untuk tidak makan, tidak minum, tidak melakukan hubungan seksual, dan pada malam hari melaksanakan shalat tarawih.

Tidak banyak terungkap bahwa puasa hanyalah sarana untuk mencapai derajat taqwa, seperti yang termaktub dalam surat al-Baqarah : 183, "Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa." Mengapa taqwa? Karena taqwa merupakan jenjang tertinggi dari seluruh prosesi keagamaan kita. Dengan taqwa seseorang akan meraih predikat manusia sempurna (insan kamil). Sempurna tidak hanya secara vertikal (hubungan dengan Tuhan), tapi juga horizontal (hubungan dengan sesama). Dari sinilah kita mengetahui fungsi dan relevansi ibadah puasa.
Silahkan baca juga Monoteisme dalam Islam

Read more ...
Designed By Blogger Templates