Sejak zaman dahulu, di Pulau Bali berlaku suatu hukum adat yang disebut hak tawan karang, yaitu : bila ada suatu kapal yang terdampar di pantai Pulau Bali, muatan kapal beserta penumpangnya menjadi milik raja setempat. Kapal-kapal Belanda banyak yang melalui perairan di Pulau Bali. Dengan adanya hak tawan karang itu Belanda menganggap membahayakan bagi keselamatan harta bendanya beserta awak kapalnya.
Oleh karena itu, pada tahun 1839 Belanda mengadakan perjanjian dengan semua raja di Pulau Bali agar hak tawan karang itu dihapuskan. Sebagai gantinya Belanda akan membayar sejumlah uang untuk setiap kapal yang terdampar di pantai Pulau Bali. Akan tetapi kenyataannya janji Belanda itu tidak pernah ditepati. Pada tahun 1844, raja Buleleng merampas kapal Belanda yang secara kebetulan terdampar di Pantai Buleleng. Belanda mengadakan ultimatum agar muatan kapal yang terdampar itu dikembalikan kepada Belanda. Karena ultimatum itu tidak dihiraukan oleh raja Buleleng maupun oleh patihnya yang bernama Gusti Ktut Jelantik, maka terjadilah perang yang disebut Perang Buleleng. Pada akhir Juni 1846 Belanda mengerahkan angkatan darat dan angkatan laut untuk menyerang Buleleng. Walaupun raja Buleleng mendapat bantuan dari raja Karangasem—karena persenjataan Belanda jauh lebih lengkap dan modern—pasukan Belanda berhasil dapat merebut benteng dan menduduki keraton.
Dalam perkembangan selanjutnya raja Buleleng dan raja Karangasem terpaksa menandatangani perjanjian, yang isinya :
Raja Buleleng dan raja Karangasem menyatakan bahwa daerah-daerahnya merupakan bagian dari Hindia Belanda.
Raja Buleleng dan raja Karangasem tidak boleh mengadakan hubungan dengan bangsa Eropa,kecuali dengan bangsa Belanda.
Hak tawan karang raja-raja Bali harus dihapuskan.
Setelah Belanda mendengar berita bahwa hak tawan karang diberlakukan lagi, maka pada tahun 1849 Belanda mengirimkan pasukannya ke Bali di bawah pimpinan Jenderal Miechiels, dengan tujuan menghancurkan Benteng Jagaraga yang dipertahankan oleh Gusti Ktut Jelantik. Pasukan Belanda ternyata tidak berhasil menggempur Benteng Jagaraga, karena jumlah pasukan dari ketiga kerajaan tersebut lebih besar. Maka Belanda kembali ke Batavia untuk mendatangkan pasukannya yang jumlahnya lebih besar dari pasukan ketiga kerajaan tersebut.
Pada pertengahan April 1849 Belanda menyerang Bali dengan pasukan yang lebih besar. Pasukan Karangasem, Buleleng, dan Klungkung walaupun berjuang dengan gigih masih terdesak juga oleh Belanda. Bahkan Benteng Jagaraga yang menjadi pusat pertahanan raja-raja Bali berhasil direbut oleh Belanda. Dengan demikian Bali Utara dapat dikuasai oleh Belanda, tetapi Bali Selatan belum bisa ditundukkan oleh Belanda. Oleh karena itu, serangan Belanda diteruskan ke selatan. Raja Karangasem mengadakan puputan, yaitu : perlawanan sampai mati oleh seluruh keluarga kerajaan beserta pengikut-pengikutnya.
Setelah Belanda berhasil menguasai Karangasem, lalu meneruskan serangannya ke Klungkung. Meskipun Benteng Kusumba dipertahankan secara mati-matian, pada akhirnya dapat juga direbut oleh Belanda. Dalam pertempuran untuk merebut Benteng Kusumba, Jenderal Miechiels tewas. Dengan tewasnya Jenderal Miechiels, serangan Belanda terhadap raja-raja di Bali yang belum tunduk menjadi dahsyat lagi. Raja-raja yang belum tunduk itu, dipaksa oleh Belanda untuk menandatangani suatu perjanjian yang berisi :
Raja-raja Bali harus bersedia menerima kedatangan Belanda di Bali.
Raja-raja Bali tidak boleh mencampuri urusan pemerintahan dari kerajaan-kerajaan lain.
Demikianlah sejarah terjadinya perang jagaraga. Semoga bermanfaat.
Silahkan baca juga Terapi Akal Sehat Sejarah
Silahkan baca juga Terapi Akal Sehat Sejarah
No comments:
Post a Comment