Sejarah terjadinya Perang Padri dalam artikel ini mencoba mendeskripsikan tentang sejarah terjadinya Perang Padri. Perang padri yang berlangsung di Sumatera Barat dalam abad ke-19 dibagi menjadi:
- Perang antara Kaum Padri melawan Kaum Adat (1803 – 1821)
- Perang antara Kaum Padri melawan Belanda (1821 – 1837)
A. Perang antara Kaum Padri melawan Kaum Adat
Perang antara kedua kaum tersebut merupakan perang saudara, yaitu perang antara sesama rakyat Minangkabau karena adanya perbedaan pendapat mengenai ajaran agama Islam. Pada permulaan abad ke-19, Minangkabau kedatangan tiga orang yang telah menunaikan ibadah haji di Mekah, yaitu: H. Miskin, H. Sumanik, dan H. Piabang. Di Saudi Arabia mereka memperoleh pengaruh gerakan Wahabi, yaitu gerakan yang bermaksud memurnikan agama Islam dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik. Mereka yang hendak menyebarkan aliran Wahabi di Minangkabau menamakan dirinya golongan Paderi (Kaum Pidari). Ternyata aliran wahabi ini ditentang oleh Kaum Adat (ajaran Islam yang bercampur dengan adat setempat) yang terdiri dari pemimpin-pemimpin adat dan golongan bangsawan.
Pertentangan antara kedua belah pihak itu mula-mula akan diselesaikan secara damai, tetapi tidak terdapat persesuaian pendapat. Akhirnya Tuanku Nan Renceh menganjurkan penyelesaian secara kekerasan sehingga terjadilah perang saudara yang bercorak keagamaan dengan nama Perang Padri (1803 – 1821). Pemimpin-pemimpinnya sebagai berikut:
Kaum Pidari dipimpin oleh Datuk Bandaro, Datuk Malim Basa, Tuanku Pasaman, Tuanku Nan Renceh, dan Tuanku Nan Cerdik.
Kaum Adat dipimpin oleh Datuk Sati.
Perang saudara ini mula-mula berlangsung di Kotalawas. Selanjutnya menjalar ke daerah-daerah lain. Pada mulanya kaum Pidari dipimpin Datuk Bandaro melawan kaum Adat di bawah pimpinan Datuk Sati. Karena Datuk Bandaro meninggal, perjuangan kaum Pidari dilanjutkan oleh Datuk Malim Basa, yang kemudian terkenal dengan nama Imam Bonjol karena berkedudukan di Bonjol.
Dalam perang itu, kaum Pidari mendapat kemenangan di mana-mana. Kedudukan kaum Adat makin terdesak, sehingga kaum Adat meminta bantuan kepada Inggris (di bawah Raffles yang saat itu masih berkuasa di Sumatera Barat). Karena Inggris segera menyerahkan Sumatera Barat kepada Belanda, maka kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda, dengan janji kaum Adat akan menyerahkan kedaulatan seluruh Minangkabau (10 Februari 1821). Permintaan itu sangat menggembirakan Belanda yang memang sudah lama mencari kesempatan untuk meluaskan kekuasaannya ke daerah tersebut.
B. Perang antara Kaum Padri melawan Belanda
Sejak tahun 1821 merupakan awal perang padri melawan Belanda dengan corak keagamaan dan patriotisme. Perang ini dibagi menjadi dua periode, yaitu:
- Periode I (Tahun 1821 – 1825)
- Periode II (Tahun 1830 – 1837)
a. Periode I (Tahun 1821 – 1825)
Belanda mengirimkan pasukannya ke Semawang dan beberapa minggu kemudian terjadilah pertempuran di Sulit Air (mulailah perang padri). Belanda mendirikan dua benteng, yaitu: Benteng Fort van der Capellen di Batusangkar dan Benteng Fort de Kock di Bukittinggi.
Ternyata Belanda hanya dapat bertahan di benteng-benteng itu saja. Daerah luar benteng masih tetap dikuasai oleh kaum Pidari. Belanda mengalami kekalahan di mana-mana, bahkan pernah mengalami kekalahan total di Muara Palam dan di Sulit Air. Akhirnya pada tanggal 22 Januari 1824 Belanda mengadakan perdamaian dengan kaum Pidari di Masang, isinya: kedua belah pihak akan mentaati batasnya masing-masing.
Belanda tidak mau mentaati perjanjian dan dua bulan kemudian Belanda meluaskan daerahnya masuk ke daerah kaum Pidari. Maka terjadi pertempuran lagi antara kedua belah pihak. Sementara di Sumatera Barat berkobar perang Padri, di Jawa Tengah meletus Perang Diponegoro. Kedudukan Belanda bertambah sulit, sebab terpaksa mengirimkan pasukannya ke Jawa untuk menghadapi Perang Diponegoro. Belanda mencari akal agar dapat berdamai dengan kaum Padri. Dengan perantaraan seorang bangsa Arab yang bernama Said Salima ‘Ijafrid, Belanda berhasil mengadakan perdamaian dengan kaum Pidari tanggal 15 November 1825 di Padang, yang isinya:
Kedua belah pihak tidak akan saling serang menyerang.
Kedua belah pihak saling melindungi orang-orang yang sedang pulang kembali dari pengungsian.
Belanda mengikat perjanjian tersebut karena pasukannya ditarik seluruhnya untuk menghadapi Perang Diponegoro.
b. Periode II (Tahun 1830 – 1837)
Perang Diponegoro di Jawa Tengah telah dapat diselesaikan Belanda dengan tipu muslihatnya. Perhatiannya lalu dipusatkan lagi ke Minangkabau. Maka berkobarlah Perang Padri periode kedua, karena Belanda memungkiri Perjanjian Padang. Pertempuran mulai berkobar di Naras daerah Pariaman. Naras yang dipertahankan oleh Tuanku Nan Cerdik diserang oleh Belanda sampai dua kali tetapi tidak berhasil. Setelah Belanda menggunakan senjata yang lebih lengkap di bawah pimpinan Letnan Kolonel Elout yang dibantu Mayor Michiels, Naras dapat direbut oleh Belanda. Tuanku Nan Cerdik menyingkir ke Bonjol, selanjutnya daerah-daerah kaum Pidari dapat direbut oleh Belanda satu demi satu, sehingga pada tahun 1832 Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda.
Pada tahun 1832, Tuanku Imam Bonjol berdamai dengan Belanda. Akan tetapi ketenteraman itu tidak dapat berlangsung lama, karena rakyat diharuskan:
- Membayar cukai pasar dan cukai mengadu ayam.
- Kerja rodi untuk kepentingan Belanda.
Dengan hal-hal tersebut di atas, sadarlah kaum Adat dan kaum Pidari bahwa sebenarnya mereka itu hanya diperalat oleh Belanda. Perasaan nasionalisme mulai timbul dan menjiwai mereka masing-masing. Selanjutnya terjadilah perang nasional melawan Belanda. Pada tahun 1833 seluruh rakyat Sumatera Barat serentak menghalau Belanda. Bonjol dapat direbut kembali dan semua pasukan Belanda di dalamnya dibinasakan. Karena itu Belanda mulai mempergunakan siasat adu domba (devide et empera). Dikirimkanlah Sentot beserta pasukan-pasukannya—yang menyerah kepada Belanda waktu Perang Diponegoro—ke Sumatera Barat untuk berperang melawan orang-orang sebangsanya sendiri. Tetapi setelah Belanda mengetahui bahwa Sentot mengadakan hubungan dengan kaum Pidari secara rahasia, Belanda menjadi curiga. Pasukan Sentot ditarik kembali ke Batavia dan Sentot diasingkan ke Bangkahulu.
Untuk mengakhiri Perang Padri itu, Belanda berusaha menarik hati para raja di Minangkabau dengan cara mengeluarkan Plakat Panjang (1833) yang isinya:
Penduduk dibebaskan dari pembayaran pajak berat dan pekerjaan rodi.
Perdagangan hanya dilakukan dengan Belanda saja.
Kepala daerah boleh mengatur pemerintahan sendiri, tetapi harus menyediakan sejumlah orang untuk menahan musuh dari dalam atau dari luar negeri.
Para pekerja diharuskan menandatangani peraturan itu. Mereka yang melanggar peraturan dapat dikenakan sanksi.
Selanjutnya Belanda tetap berusaha untuk memperluas daerahnya. Setapak demi setapak Belanda dapat menundukkan pertahanan kaum Pidari termasuk pertahanan kaum Pidari di Bonjol (1837), tetapi Tuanku Imam Bonjol beserta pengikutnya dapat meloloskan diri, dan meneruskan perjuangannya di daerah lain.
Sejak itu perlawanan rakyat Minang makin lama makin menurun, daerah kekuasaan Belanda makin meluas, dan daerah kaum Pidari makin menyempit. Akhirnya Belanda mengirimkan utusan untuk menyampaikan janji-janji kepada Tuanku Imam Bonjol. Tuanku Imam Bonjol—ketika menjumpai panglima pasukan Belanda—ditangkap dan dipenjarakan di Cianjur, lalu dibuang ke Ambon, akhirnya dipindahkan ke Menado dan wafat pada tanggal 6 November 1864. Dengan tipu muslihatnya, Belanda akhirnya dapat menghentikan Perang Padri dan menguasai Sumatera Barat.
Demikianlah sejarah terjadinya Perang Padri. Semoga Bermanfaat.
Silahkan baca juga Sejarah Terjadinya Perang Jagaraga