Thursday, 29 September 2011

REKONSTRUKSI MAKNA JIHAD

Rekonstruksi Makna Jihad dalam artikel ini mencoba menguraikan makna jihad yang sebenarnya yang selama ini terkikis oleh makna jihad dalam arti sempit. Mendengar kata-kata jihad, bayangan kita seolah menuju pada sebuah pertempuran yang dahsyat dengan senjata yang dilakukan untuk membela agama, atau dalam istilah yang lebih khusus disebut perang sabil. Dalam bahasa Inggris kata jihad diterjemahkan dengan sebutan holly war (perang suci), kata ini semakin memperlihatkan jihad dalam makna yang mengerikan. Maka tidak heran jika dunia barat melihat jihad sebagai kata-kata yang sangat ditakuti dan bermakna sangat negatif; identik dengan perang, pedang, darah, dan kematian.

Jihad memang bisa dimaknai dengan perang mempertahankan agama dari serangan orang kafir atau musyrik. Jihad dalam konteks ini, dalam istilah Arab disebut qital atau sabilillah. Tetapi qital hanya merupakan bagian saja dari jihad, masih banyak bagian-bagian lain yang masuk dalam kategori jihad. Bahkan Nabi Muhammad saw. setelah perang Badar mengatakan bahwa jihad terbesar bagi umat manusia adalah jihad melawan hawa nafsu. Artinya jihad bukan berarti perang fisik.


makna jihad, jihad

Kata-kata jihad, belakangan ini, lebih sering digunakan setelah lebih dari setengah abad lengang dari perbincangan orang. Maraknya kerusuhan-kerusuhan antar-kelompok di berbagai daerah salah satunya disebabkan oleh isu agama. Bahkan di daerah yang tidak dilanda kerusuhan pun, kata-kata jihad menjadi sering dipakai dalam aksi-aksi solidaritas. Kata-kata ini menjadi sangat efektif untuk menyentuh sisi emosi keagamaan. Sehingga kata-kata ini mudah sekali untuk memobilisasi massa. Entah untuk aksi massa atau untuk pengiriman-pengiriman ‘pasukan’ bantuan.

Kata jihad memang mempunyai daya dorong yang cukup dahsyat, sebagaimana halnya kata Allahu Akbar, merdeka, dan semacamnya. Menurut teorinya sastrawan Sutarji Calzoum Bachri “pada dasarnya tiap kata itu adalah mantra”, maka kata jihad termasuk kategori kata yang mempunyai kekuatan provokatif untuk membangkitkan semangat umat Islam. Kita bisa mengakui kalau resolusi jihad yang dibuat Hasyim Asy’ari ternyata mampu membangkitkan perlawanan arek-arek Surabaya terhadap sekutu, demikian juga semangat perlawanan terhadap kolonialisme yang dilakukan oleh pesantren-pesantren, didasari pada semangat jihad (semangat memperjuangkan agama).

Perbedaannya, kalau dulu, jihad digunakan untuk membangkitkan semangat perlawanan terhadap penjajah, maka sekarang jihad digunakan untuk membangkitkan perlawanan sebagian golongan terhadap golongan lain sesama bangsanya sendiri, meski dengan dasar sentimen agama. Jihad bukan lagi diarahkan sebagai perlawanan terhadap penindasan, akan tetapi menjadi persoalan eksistensi dan emosi, sehingga subyektifitas seseorang menjadi dominan. Ujung-ujungnya adalah pembelaan terhadap kepentingan sendiri atau kelompoknya agar bisa berkuasa.

Dalam al-Qur’an kata jihad disebut sampai 35 kali, menunjukkan betapa pentingnya kata ini. Bahkan di dalam training-training perkaderan organisasi Islam biasanya ada materi khusus yang membahas mengenai hal ini. Materi ini dimaksudkan untuk memberikan pengertian kepada kader tentang ruhnya. Bahwa dalam melakukan segala aktivitas, kita harus mengawalinya dengan sebuah niat yang tulus. Namun pemaknaan jihad yang sempit selama ini menjadikannya bernuansa negatif dan banyak yang enggan menggunakan kata-kata itu. Sayyid Hossein Nashr menyebutkan, terjemahan kata jihad yang selama ini kita lihat telah mempersempit makna keseluruhannya. Orang Barat telah menghilangkan sisi makna spiritual jihad. Padahal dengan pemaknaan dari sisi ini, jihad akan menjadi energi yang sangat kuat bagi kebangkitan Islam tanpa melalui kekerasan.

Jihad dalam arti yang lebih luas berarti sebuah kegiatan dengan mencurahkan segala kemampuan. Apapun bentuk kegiatannya, yang penting segala bentuk kerja yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, itulah yang dinamakan jihad. Misalnya, bekerja mencari nafkah, berpikir, belajar, bertani, berdagang, dan sebagainya.

Terjadinya penyempitan makna jihad sebenarnya merupakan salah satu bentuk dari adanya penindasan pemaknaan yang dilakukan oleh Barat. Persepsi terhadap kata jihad yang identik dengan perang menenteng senjata, melahirkan kesan bahwa Islam merupakan agama yang dibawa dengan kekerasan dan pedang. Stigma (cap buruk) perang Salib di mana Islam dan Kristen berhadapan secara frontal masih menguasai alam bawah sadar mereka. Lukisan bahwa Islam itu kejam, penuh dengan darah menjadi semakin kental dengan adanya penyempitan makna seperti ini.

Ada yang mengatakan bahwa jihad merupakan rukun Islam keenam dan menjadi penyempurna bagi keislaman seseorang, karena dengannya ia akan selalu konsisten dalam memperjuangkan idealismenya. Turunan ketiga dari makna pensyahadatan tauhid adalah jihad. Setelah orang percaya tentang adanya sang khaliq (pencipta), maka ia akan menjadi percaya dan meyakini dengan mantap, itulah yang disebut iman. Dari sini kemudian timbul semangat baginya untuk melakukan tugas-tugas kekhalifahan yang didasari oleh kesadaran akan peran-perannya. Tumbuhnya semangat jihad akan dimulai dari adanya kesadaran-kesadaran ini. Berjihad merupakan sebuah bukti akan kejelasan orientasi dan tujuan seorang manusia akan segala perbuatan yang ia lakukan.

Berjihad berarti melakukan tugas kekhalifahan yang dikerangkakan dalam bentuk, alur dan tujuan yang jelas. Apapun bentuk perannya, kalau sudah terkerangkakan sedemikian rupa, maka segalanya akan menjadi indah. Bahkan peran seberat apapun akan selalu dijalankan dengan penuh semangat karena dilakukan dengan penuh kesadaran. Pengorbanan menjadi sesuatu yang diharapkan, bukan sesuatu yang dihindari. Baginya pengorbanan adalah bentuk pemasrahan “cinta”, bukan sekedar konsekuensi dari perjuangan. Ada sesuatu yang dipunyai dalam dirinya sehingga membangkitkan sebuah energi perjuangan yang sangat tinggi. Itulah jihad, melakukan tugas kekhalifahan dengan semangat kesungguhan yang paripurna.

Idealnya setiap orang Islam memahami konsep jihad ini. Sehingga dalam hidupnya memiliki orientasi yang jelas. Bentuk peran yang dijalankan adalah bagian dari proses saja. Pada dasarnya setiap manusia mempunyai tujuan yang sama, mencapai kesempurnaan hidup dan kebahagiaan, di situlah setiap orang melakukan pengabdian (ibadah). Dan pengabdian adalah kemanusiaan yang membawa orang mencapai ketakwaan. Sehingga dengannya manusia benar-benar menjadi termanusiakan. Tidak seperti sekarang ini, seakan jihad hanya milik orang-orang tertentu saja. Orang hanya dianggap berjihad jika sudah bersedia berangkat ke medan perang. Dan para petani yang menggarap sawahnya untuk menafkahi keluarganya tidak dianggap jihad. Demikian artikel tentang rekonstruksi makna jihad. Semoga bermanfaat.
Silahkan baca juga Ibadah Puasa Kita Dijadikan Sarana Komersialisasi

Read more ...

Sunday, 28 August 2011

MANFAAT DAUN BINAHONG

Manfaat daun binahong dalam artikel ini mencoba mendeskripsikan tentang manfaat daun binahong yang besar sekali untuk kesehatan. Tanaman ini tumbuh merambat. Ada yang menamainya binahong dan berasal dari Korea. Namun tanaman ini sebenarnya sudah lama ada di Indonesia dan biasa disebut gendola (Basella rubra Linn). Binahong adalah tanaman obat dari daratan Tiongkok yang dikenal dengan nama asli Dheng San Chi.

Tumbuhan ini telah dikenal memiliki kasiat penyembuhan yang luar biasa dan telah ribuan tahun dikonsumsi oleh bangsa Tiongkok, Korea, Taiwan dll. Di kawasan Asia Tenggara, tumbuhan ini merupakan konsumsi wajib penduduk Vietnam ketika melawan invansi Amerika, namun sayangnya tanaman ini masih asing untuk daerah Indonesia.Tumbuhan merambat ini misterius karena belum banyak literatur maupun penelitian ilmiah yang mengungkapkan khasiatnya.


daun binahong, manfaat binahong

Namun, secara empiris, masyarakat memanfaatkannya untuk membantu proses penyembuhan beragam penyakit. Seluruh bagian tanaman menjalar ini berkasiat, mulai dari akar, batang dan daunnya. Pemanfaatanya bisa direbus atau dimakan sebagai lalapan untuk daunnya.

Manfaat Daun Binahong Bagi Kesehatan 
  1. Mempercepat pemulihan kesehatan setelah operasi, melahirkan, khitan, segala luka-luka luar maupun dalam, dan radang usus. 
  2. Melancarkan dan menormalkan peredaran dan tekanan darah.
  3. Mencegah stroke, maag, dan asam urat.
  4. Menambah dan mengembalikan vitalitas daya tahan tubuh.
  5. Menyembuhkan wasir (ambeien), melancarkan buang air kecil, buang air besar, diabetes, sariawan, sakit kepala, sakit perut, penyakit kulit (gatal-gatal).
  6. Membantu proses penyembuhan berbagai macam penyakit batuk /muntah darah, kencing manis, sesak nafas, darah tinggi / darah rendah, radang ginjal, maag kronis, lemah syahwat, gangguan fungsi jantung, dll.
  7. Untuk  memperlancar peredaran darah di syaraf-syaraf  otak.
Untuk Pemakaian Dalam
  • Untuk menyembuhkan luka bekas operasi, maag, typus, disentri, kesegaran jasmani (tambah telur dan madu), mencegah stroke, asam urat dan sakit pinggang : Ambil rhizoma (umbi) secukupnya, dicuci bersih, kemudian direbus, setelah dingin disaring dan diminum 2-3 kali sehari. Namun dapat pula umbinya dikeringkan, lalu ditumbuk halus, kemudian dimasukkan dalam kapsul 0,5 mh dan diminum 3 kali sehari.
  • Agar bekas operasi caesar cepat kering, ambil akar binahong yang batangnya merah sebanyak 15 gram. Setelah dicuci bersih, rebus dengan 3 gelas air hingga tersisa setengahnya. Saring dan minum selagi hangat. Anda bisa menambahkan sedikit sereh atau gula batu bila suka.
Untuk Pemakaian Luar
Untuk menyembuhkan memar karena terpukul, kena api (panas), rheumatik, pegal linu, nyeri urat, menghaluskan kulit : Daun dan batang ditumbuk halus kemudian dioleskan pada bagian yang sakit.

Kategori Penyakit berat :
  • Batuk/muntah darah : 10 lembar daun diminum setiap hari.
  • Paru-paru : 10 lembar daun diminum setiap hari.
  • Kencing manis : 11 lembar daun diminum setiap hari.
  • Sesak nafas : 7 lembar daun diminum setiap hari.
  • Borok akut(menahun) : 12 lembar daun diminum setiap hari.
  • Darah rendah : 8 lembar daun diminum setiap hari.
  • Gatal-gatal /eksim kulit : 10-15 lembar daun diminum setiap hari.
  • Ambeyen berdarah : 16 lembar daun diminum setiap hari    
Kategori Penyakit Ringan :
  • Disentri/buang air besar : 10 lembar daun diminum setiap hari
  • Hidung mimisan : 4 lembar daun diminum setiap hari
  • Habis bedah/operasi : 20 lembar daun diminum setiap hari
  • Luka bakar : 10 lembar daun diminum setiap hari
  • Gusi berdarah : 4 lembar daun diminum setiap hari
  • Kelancaran haid : 3 lembar daun diminum setiap hari
  • Habis bersalin/melahirkan :  7 lembar daun diminum setiap hari
  • Lemah syahwat : 3-10 lembar daun diminum setiap hari.
  • Menjaga stamina tubuh : 1 lembar daun diminum setiap hari
Demikianlah artikel tentang manfaat daun binahong. Semoga bermanfaat.
Silahkan baca juga Manfaat Jamur LingZhi
Read more ...

Wednesday, 17 August 2011

TERAPI AKAL SEHAT SEJARAH

Pro dan kontra tentang kebenaran sejarah tragedi 1965 sampai sekarang masih berlangsung. Pasca runtuhnya Orde Baru (1998), banyak kalangan sudah mulai menyangsikan kebenaran sejarah tragedi 1965 yang berkembang selama ini, para saksi sejarah pun mulai berbicara, terutama menyangkut siapa yang bertanggung jawab di balik peristiwa tersebut. Opini yang sudah terlanjur berkembang sekian lama, bahkan sudah menjadi stigma, pembunuhan para Jenderal petinggi militer (dengan dalih Dewan Revolusi) pada tahun itu didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI). Belakangan mulai mencuat dalang peristiwa tersebut adalah Soeharto bersama para korpnya. Walaupun anggapan demikian kebanyakan tidak dibarengi bukti dan data-data yang cukup otentik dan memadai, namun citra politik sudah terlanjur terbentuk demikian. Lacakan terhadap peristiwa tragedi 1965 ini menjadi penting sebagai terapi akal sehat dan pelajaran sejarah yang berharga bagi generasi mendatang.

Peristiwa 1965, selain berangkat dari persaingan kepentingan elit politik, juga disebabkan oleh perbenturan kepentingan politik di tubuh militer Indonesia yang ditandai oleh keretakan hubungan antar masing-masing struktur dan angkatan. Rentetan konflik kepentingan di tubuh militer berawal dari peristiwa Madiun 1948 di mana kekuatan PKI mulai dipreteli, puncaknya meletus skenario G 30 S PKI 1965.


terapi akal, terapi sejarah, sejarah terapi

Kondisi ini membuat arah politik Indonesia mulai dikendalikan oleh setting politik luar negeri (baca : Amerika dan sekutu) sebagai konsekwensi dari kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menempatkan tentara-tentara KNIL atau tentara kerajaan Hindia Belanda masuk sebagai pemegang kendali politik militer. Situasi lain yang mendukung adalah meletusnya pemberontakan di beberapa daerah, seperti Kahar Muzakar, Kartosuwiryo, PRRI/Permesta yang berlarut-larut, sebagai protes atas “RERA” (perampingan tubuh militer) yang meminggirkan para laskar rakyat, karena tidak masuk menjadi tentara resmi (TNI). Pemberontakan di beberapa daerah tersebut kemudian dijadikan dalih oleh elit militer Angkatan Darat (AD)—waktu itu di bawah komando A.H. Nasution—untuk mendesak Presiden Soekarno memberikan andil besar terhadap peran politik tentara guna mengatasi keadaan.

Tidak lama dari kekacauan di daerah-daerah, muncul keputusan Staat van Orloog en Beleeg (SOB) tahun 1957, semacam Undang-Undang Keadaan Perang yang berlaku di seluruh Indonesia. Berbarengan dengan kebijakan SOB yang justru berdampak memperkeruh keadaan, digulirkan isu “sita modal asing” yang masih bercokol di perusahaan-perusahaan perkebunan dan tambang untuk diambil alih, kemudian dinasionalisasi untuk kepentingan negara. Gayung bersambut, momentum ini direbut oleh kekuatan militer yang sudah menyebar di kantong-kantong politik daerah. Kebijakan SOB ini kelak menjadi salah satu alasan lahirnya konsep organisasi teritorial Kodam, Korem, Kodim dan Koramil.

Dalam situasi yang tidak menentu tersebut, Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Saat itu kekuatan militer mulai dilirik  oleh partai-partai besar seperti NU, Masyumi, PNI, PSI dan Parkindo untuk mengimbangi kekuatan politik yang ada di daerah-daerah, lebih-lebih Soekarno menerapkan demokrasi terpimpin, yang mengesampingkan peran kekuatan partai dalam tubuh kabinet. Akibatnya permainan politik yang berjalan di luar adalah model politik jalanan. Persaingan politik di tingkat bawah terus memanas ketika tahun 1959 PKI mulai menggalang program politik semisal Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan land reform ke dalam agenda politik di tingkat basis. Gencarnya aksi sepihak perebutan tanah awal-awal 1960-an oleh PKI lewat Barisan Tani Indonesia (BTI) dipandang mengancam bagi kepentingan politik partai-partai lain seperti NU, Masyumi, PNI, Parkindo dan lain-lain. Ketegangan yang ada di bawah, dibaca oleh tentara sebagai momentum untuk menguasai keadaan dan mengipasi situasi ke arah konflik horisontal antar kekuatan politik partai. Warna kebijakan dan jargon politik yang digunakan oleh Soekarno memang menempatkan PKI sebagai rekanan politik untuk mengimbangi kuatnya tekanan dan pengaruh politik militer yang dimainkan oleh A.H. Nasution. Belum lagi atmosfer politik internasional yang semakin keras ketika Amerika juga ikut memainkan setting politik nasional secara tidak langsung lewat agennya (CIA) di tubuh militer AD untuk membendung pengaruh komunisme Soviet dan Beijing. Dari sana faksi A.H. Nasution mendapat akses besar untuk masuk pada wilayah strategis sosial, politik dan ekonomi di samping pertahanan dan keamanan.

Selain itu, ada beberapa peristiwa penting di tingkat elit militer Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU) yang menggiring kepada pecahnya drama politik G 30 S PKI, di antaranya : Pertama, kampanye Soekarno “Ganyang Malaysia” (September 1963) untuk mamobilisasi tentara dan rakyat secara massif. Taktik ini dirasa penting untuk mengurangi dominasi AD, karena lebih memegang peran daripada AL dan AU. Bahkan usaha ini membuat hubungan ketiga angkatan itu semakin menegang. Hal ini ditunjukkan dengan tidak hadirnya AD dalam agenda “Ganyang Malaysia”. Bagi AD agenda tersebut sangat tidak strategis karena pihak Amerika yang sudah menjalin hubungan secara dekat dengan AD tentu akan membantu Inggris yang pada waktu itu masih berkuasa atas Negeri Tetangga itu. Kedua, polemik berkepanjangan tentang usulan PKI membentuk “angkatan kelima”. Usul itu secara sengit ditolak AD tetapi didukung oleh AL dan AU, bahkan menurut Soekarno, hal itu perlu sebagai konsekwensi dari perang total dengan Neokolonialisme Amerika, Inggris dan sekutunya. Bila pembentukan itu terjadi, maka posisi AD terancam dan menguntungkan PKI. Ketiga, isu “Dewan Jenderal” yang digulirkan untuk menohok faksi di tubuh militer yang mendukung garis politik Soekarno. Keempat, peran agen intelijen Amerika (CIA). Tidak dipungkiri, andil Amerika dengan CIA-nya lewat tubuh AD begitu besar dalam penyusunan skenario besarnya. Penilaian demikian diperkuat oleh beberapa penelitian yang dilakukan oleh para akademisi dari Universitas Cornell, Ithaca New York Amerika Serikat. Bahkan dari hasil penelitian tersebut Benedict Anderson pernah mengatakan “Bahwa Soeharto dan pimpinan AD bertanggung jawab atas pembunuhan ini, itu jelas”. Alasannya, peran Soeharto waktu itu cukup strategis, sebagai pangkostrad, ia memegang komando pasukan untuk melakukan sebuah peperangan. Ungkapan tersebut diperkuat dengan salah satu data hasil otopsi jenazah para Jenderal yang dibunuh pada pagi buta 1 Oktober 1965, tidak menunjukkan bukti adanya penyiksaan secara kejam terhadap tubuh para perwira tinggi tersebut. Hasil otopsi menunjukkan bahwa mereka dibunuh dengan “tembakan peluru” bukan dengan siksaan seperti yang diberitakan oleh banyak media massa dan opini yang berkembang selama masa Orde Baru.

Pembacaan ini setidaknya memperlebar cara pandang, bahwa peristiwa sejarah tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja. Lebih-lebih bila sudut pandang itu dibuat secara sengaja dan tunggal oleh rezim yang tengah berkuasa, tentu banyak fakta yang semestinya diungkap akan dikunci rapat-rapat. Sebuah cara yang sangat tidak mendidik bagi generasi mendatang. 

Semoga bermanfaat.
Silahkan baca juga Sejarah Terjadinya Perang Maluku
Read more ...

Sunday, 14 August 2011

RENUNGAN UNTUK PARA PEJABAT



Kekuasaan seringkali memabukkan dan membingungkan. Orang yang memegang kekuasaan (pejabat) seringkali sulit membedakan mana yang milik pribadi dan mana yang merupakan fasilitas negara. Akibatnya, banyak aktifitas pejabat yang sifatnya pribadi tetapi menggunakan fasilitas yang dibiayai negara.

Umar bin Khattab, salah seorang khalifah dari al-Khulafa al-Rasyidin memberikan tauladan yang baik tentang bagaimana seharusnya menjadi pejabat. Diceritakan bahwa suatu malam sahabat Umar bin Khattab didatangi saudaranya. Ketika itu ia sedang mengerjakan tugas negara di ruang pribadinya. Dengan diterangi lampu minyak, ia menyelesaikan beberapa berkas negara. Lalu datanglah saudaranya itu dan bermaksud bertemu dengan khalifah karena ada hal yang ingin disampaikannya.

“Kamu ingin membicarakan masalah keluarga atau masalah negara?” kata Umar  bin Khattab kepada saudaranya itu. Lalu dijawab bahwa ia akan membicarakan persoalan keluarga dengan sang khalifah. Seketika itu juga lampu di depannya ia matikan.


renungan untuk pejabat

Melihat kejadian itu, saudara Umar bin Khattab tersebut heran lalu bertanya : “Wahai khalifah, kenapa engkau matikan lampu itu?”. Dengan suara rendahnya Umar bin Khattab menjawab : “Apa yang ingin kau bicarakan adalah urusan keluarga bukan urusan negara. Sedangkan lampu ini dibiayai oleh negara. Maka tak selayaknya pembicaraan ini menggunakan fasilitas negara”. Mendengar perkataan Umar bin Khattab, saudaranya itu pun terkejut dan hanya diam sambil merenungi perkataan Umar bin Khattab.

Kisah itu mungkin dianggap terlalu sederhana dan tidak wajar. Tetapi dari kisah itu lahir tauladan yang mulia bahwa kekuasaan tak selayaknya untuk urusan pribadi. Bagi sahabat Umar bin Khattab saat itu sangat mudah memanfaatkan apa yang diberikan negara untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, karena kekuasaan saat itu penuh berada di tangan Umar bin Khattab. Tetapi itu tidak beliau lakukan. Sebab Umar bin Khattab sadar bahawa apa yang diamanatkan kepadanya akan dimintai pertanggungjawaban.

Rasulullah saw. telah menegaskan bahwa setiap yang diamanatkan kepada seseorang pasti akan dimintai pertanggungjawabannya, termasuk seorang imam (pemimpin), ia akan dimintai pertanggungjawaban perihal apa yang pernah ia lakukan ketika memimpin.

Dalam sejarah disebutkan terdapat sebuah nasehat ulama besar al-Hasan putra al-Hasan al-Bashri kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dalam suratnya, al-Hasan menulis : “Ketahuilah, wahai Amirul Mukminin bahwa Allah swt. menjadikan imam sebagai penegak segala yang rubuh, pelurus segala yang bengkok, pelaku perbaikan segala yang rusak, kekuatan bagi semua yang lemah, keadilan bagi yang teraniaya, serta tempat berlindung bagi semua yang takut”.

Surat nasehat itu menegaskan bahwa kepemimpinan bukanlah suatu keistimewaan, tetapi tanggung jawab. Ia bukan fasilitas, tetapi pengorbanan. Ia bukan juga bukan kesewenang-wenangan bertindak, tetapi kewenangan melayani. Kepemimpinan adalah keteladanan berbuat dan kepeloporan bertindak. Semoga bermanfaat.
Silahkan baca juga Memilih Pemimpin Yang Amanah
Read more ...

Sunday, 24 July 2011

TIPS MEMENUHI KEBUTUHAN NUTRISI ANAK

Tips memenuhi kebutuhan nutrisi anak dalam artikel ini mencoba menguraikan beberapa tips tentang cara menyajikan makanan agar anak tumbuh sehat dan optimal. Orang tua sering menemui masalah untuk memenuhi nutrisi anak. Penyebabnya banyak, salah satunya anak yang sulit makan.


tips memenuhi nutrisi anak

Di bawah ini ada beberapa tips yang membantu, yaitu : 
  1. Buatlah makanan tampil lebih menarik. Anda dapat membuat makanan dengan hiasan berbentuk benda-benda yang disukai oleh anak.
  2. Buatlah situasi makan yang menyenangkan. Anak yang sedih ataupun tertekan sering kali menjadi malas untuk makan.
  3. Campurkan sayuran ke dalam makanan yang disukai anak. Ini dilakukan terutama untuk anak-anak yang kurang menyukai sayuran. Begitu juga dengan anak yang tidak menggemari makanan tertentu seperti daging, telur, ataupun ikan.
  4. Jangan beri anak makanan yang dapat mengurangi nafsu makan, seperti permen ataupun makanan ringan lain.
  5. Berikan susu sesuai dengan usia dan kebutuhan anak. Anak usia 1 - 6 tahun membutuhkan nutrisi yang dapat menunjang pertumbuhan fisik. Sedangkan anak usia 7 - 12 tahun membutuhkan nutrisi yang mendukung proses belajar. 
Demikianlah beberapa tips memenuhi kebutuhan nutrisi anak. Semoga bermanfaat.
Silahkan baca juga Tips Menghilangkan Bau Mulut











Read more ...

Friday, 15 July 2011

ASAS-ASAS JINAYAH

Dalam fiqh jinayah atau hukum pidana Islam dikenal tiga kelompok asas hukum, yakni asas legalitas yang berkenaan dengan unsur formal hukum pidana Islam; asas moralitas yang berkenaan dengan unsur moral hukum pidana Islam; dan asas material yang berkenaan dengan unsur material hukum pidana Islam.

1. Asas Legalitas
Asas legalitas dalam fiqh jinayah berbunyi :

لا جَرِيْمَة وَلاعُقوْبَة اِلاَّ باالنصِّ
Artinya : Tidak ada tindak pidana dan tidak ada sanksi hukum atas suatu tindakan tanpa ada aturannya.

Asas ini didasarkan kepada al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 15, dan surat al-Qashash ayat 59. Kedua ayat tersebut menyatakan bahwa Allah swt. tidak akan mengadzab siapapun juga kecuali jika Ia telah mengutus Rasul-Nya. Asas legalitas ini melahirkan kaidah yang berbunyi :

لاحُدُوْدَ لاَفعَالِ العُقلاءِ قَبْلَ وُرُوْدِ النصِّ
Artinya : Tidak ada hukum bagi tindakan-tindakan manusia sebelum ada aturan hukumnya.
Kelanjutan dari asas legalitas di atas ialah asas atsarun raj’iyyun yakni tidak adanya daya berlaku surut ketentuan hukum pidana.


Asas Jinayah dalam Islam


Asas legalitas ini mengenal juga asas teritorial dan non teritorial. Asas teritorial menyatakan bahwa hukum pidana Islam hanya berlaku di wilayah di mana hukum Islam diberlakukan, yakni : 1. Negara-negara Islam; 2. Negara yang berperang dengan negara Islam; 3. Negara yang mengadakan perjanjian damai dengan negara Islam. Asas non teritorial menyatakan bahwa hukum pidana Islam berlaku bagi seorang muslim tanpa terikat di mana ia berada, apakah ada di wilayah di mana hukum pidana Islam diberlakukan (tiga negara tersebut di atas), maupun di negara yang secara formal tidak diberlakukan hukum pidana Islam.

2. Asas Material
Asas material hukum pidana Islam menyatakan bahwa tindak pidana ialah segala yang dilarang oleh hukum, baik dalam bentuk tindakan yang dilarang maupun tidak melakukan tindakan yang diperintahkan, yang diancam hukum (had atau ta’zir).

Berdasarkan atas asas material ini, sanksi hukum pidana Islam mengenal dua macam : hudud dan ta’zir. Hudud adalah sanksi hukum yang kadarnya telah ditetapkan secara jelas berdasarkan teks atau nash, baik al-Qur’an maupun hadits. Sementara ta’zir adalah sanksi hukum yang ketetapannya tidak ditentukan, atau tidak jelas ketentuannya, baik dalam al-Qur’an maupun hadits. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan asas material ini lahirlah kaidah hukum pidana yang berbunyi :

اِدْرَءُوا الحُدُوْدَ بالشُبْهَاتِ
Artinya : Hindarkanlah pelaksanaan hudud jika ada kesamaran atau syubhat.

Asas material pun mengenal asas pemaafan dan asas tobat. Asas pemaafan dan tobat menyatakan bahwa orang yang melakukan tindak pidana, baik atas jiwa, anggota badan maupun harta, dapat dimaafkan oleh pihak yang dirugikan apabila yang bersangkutan bertobat. Bentuk tobat dapat mengambil bentuk pembayaran denda yang disebut diyat, kafarat, atau bentuk lain, yakni langsung bertobat kepada Allah swt. Oleh karena itu, lahirlah kaidah yang menyatakan bahwa : Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa.

3. Asas Moralitas
Ada beberapa asas moral hukum pidana Islam :

a. Asas Adamul Uzri yang menyatakan bahwa seseorang tidak diterima pernyataannya bahwa ia tidak tahu hukum.

b. Asas Raful Qalam yang menyatakan bahwa sanksi atas suatu tindak pidana dapat dihapuskan karena alasan-alasan tertentu, yaitu karena pelakunya di bawah umur; orang yang tertidur; dan orang gila.

c. Asas al-Khath wa Nisyan yang secara harfiah berarti kesalahan dan kelupaan. Asas ini menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dituntut pertanggungan jawab atas tindakan pidananya jika ia dalam melakukan tindakannya itu karena kesalahan atau karena kelupaan. Asas ini didasarkan atas surat al-Baqarah ayat 286.

d. Asas Suquth al-‘Uqubah yang secara harfiah berarti gugurnya hukuman. Asas ini menyatakan bahwa sanksi hukum dapat gugur karena dua hal : pertama, karena si pelaku dalam melaksanakan tindakannya melaksanakan tuga; kedua, karena terpaksa. Pelaksanaan tugas dimaksud adalah seperti : petugas eksekusi qishash (algojo), dokter yang melakukan operasi atau pembedahan, dsb. Keadaan terpaksa yang dapat menghapuskan sanksi hukum seperti : membunuh orang dengan alasan membela diri, dsb. Demikianlah uraian tentang asas-asas jinayah. Semoga bermanfaat. 

Silahkan baca juga Teori Tentang Berlakunya Hukum Islam di Indonesia
Read more ...

Saturday, 9 July 2011

ASAS-ASAS MUAMALAT

Muamalat dalam artikel ini adalah muamalat dalam pengertian khusus, yakni hukum yang mengatur lalu lintas hubungan antar perorangan atau pihak menyangkut harta, terutama perikatan, dan jual beli. Sedangkan asas-asas muamalat meliputi pengertian-pengertian dasar yang dapat dikatakan sebagai teori-teori yang membentuk hukum muamalat. Asas-asas muamalat ini berkembang sebagaimana tumbuh dan berkembangnya tubuh manusia.

1.  Asas Tabadulul Manafi’
Asas tabadulul manafi’ berarti bahwa segala bentuk kegiatan muamalat harus memberikan keuntungan dan manfaat bersama bagi pihak-pihak yang terlibat. Asas ini merupakan kelanjutan dari prinsip atta’awun atau mu’awanah sehingga asas ini bertujuan menciptakan kerjasama antar individu atau pihak-pihak dalam masyarakat dalam rangka saling memenuhi keperluannya masing-masing dalam rangka kesejahteraan bersama.


Asas Muamalat dalam Islam


Asas tabadulul manafi’ adalah kelanjutan dari prinsip pemilikan dalam hukum Islam yang menyatakan bahwa segala yang di langit dan di bumi pada hakikatnya adalah milik Allah swt. Dengan demikian, manusia sama sekali bukan pemilik yang berhak sepenuh-penuhnya atas harta yang ada di bumi ini, melainkan hanya sebagai pemilik hak memanfaatkannya. Prinsip hukum tentang pemilikan ini didasarkan atas firman Allah swt. surat al-Ma’idah ayat 17.

2. Asas Pemerataan
Asas pemerataan adalah penerapan prinsip keadilan dalam bidang muamalat yang menghendaki agar harta itu tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang sehingga harta itu harus terdistribusikan secara merata di antara masyarakat, baik kaya maupun miskin. Oleh karena itu, dibuatlah hukum zakat, shadaqah, infaq, dan sebagainya, di samping dihalalkannya bentuk-bentuk pemindahan pemilikan harta dengan cara yang sah, seperti : jual-beli, sewa-menyewa, dan sebagainya. Asas ini pun merupakan pelaksanaan firman Allah swt. surat al-Hasyr ayat 7 yang menyatakan bahwa harta itu agar tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja.

3. Asas ‘An Taradin atau Suka Sama Suka
Asas ini merupakan kelanjutan dari asas pemerataan di atas. Asas ini menyatakan bahwa setiap bentuk muamalat antar individu atau antar pihak harus berdasarkan kerelaan masing-masing. Kerelaan di sini dapat berarti kerelaan melakukan suatu bentuk muamalat, maupun kerelaan dalam arti kerelaan dalam menerima dan atau menyerahkan harta yang dijadikan obyek perikatan dan bentuk muamalat lainnya. Asas ini didasarkan atas firman Allah swt. surat al-An’am ayat 152; surat al-Baqarah ayat 282.

4. Asas Adamul Gurar
Asas adamul gurar berarti bahwa pada setiap bentuk muamalat tidak boleh ada gurar, yaitu tipu daya atau sesuatu yang menyebabkan salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lainnya sehingga mengakibatkan hilangnya unsur kerelaan salah satu pihak dalam melakukan suatu transaksi atau perikatan. Asas ini adalah kelanjutan dari asas ‘an taradin.

5. Asas al-Birr wa at-Taqwa
Asas ini menekankan bentuk muamalat yang termasuk dalam kategori suka sama suka ialah sepanjang bentuk muamalat dan pertukaran manfaat itu dalam rangka pelaksanaan saling menolong antar sesama manusia untuk al-birr wa at-taqwa, yakni kebajikan dan ketakwaan dalam berbagai bentuknya. Dengan kata lain, muamalat yang bertentangan dengan kebajikan dan ketakwaan atau bertentangan dengan tujuan-tujuan kebajikan dan ketakwaan tidak dapat dibenarkan menurut hukum.

6. Asas Musyarakah
Asas Musyarakah menghendaki bahwa setiap bentuk muamalat merupakan musyarakah, yakni kerjasama antar pihak yang saling menguntungkan bukan saja bagi pihak yang terlibat melainkan juga bagi keseluruhan masyarakat manusia. Oleh karena itu, ada sejumlah harta yang dalam muamalat diperlakukan sebagai milik bersama dan sama sekali tidak dibenarkan dimiliki oleh perorangan. Asas ini melahirkan dua bentuk pemilikan : Pertama, milik pribadi atau perorangan (milk adamiy), yakni harta atau benda dan manfaat yang dapat dimiliki secara perorangan. Kedua, milik bersama atau milik umum yang disebut hak Allah swt. atau haqqullah. Benda atau harta milik Allah swt. itu dikuasai oleh pemerintah, seperti : air, udara, dan kandungan bumi, baik mineral maupun barang tambang lainnya. Bahkan ada harta yang dinyatakan Rasulullah saw. sebagai harta yang dimiliki oleh seluruh umat manusia, yaitu : air, api, dan garam. Demikianlah uraian tentang asas-asas muamalat. Semoga bermanfaat.
Silahkan baca juga Asas-asas Jinayah

Read more ...

Tuesday, 5 July 2011

ILMU FARAID (ILMU MAWARIS)

A. Pengertian Ilmu Faraid (Ilmu Mawaris)
Ilmu faraid (ilmu mawaris) yaitu ilmu yang membahas pembagian harta pusaka atau ilmu yang menerangkan  perkara pusaka. Pusaka dalam bahasa Arab disebut attirkah, peninggalan orang yang telah mati, yakni harta benda dan hak yang ditinggalkan oleh orang yang mati untuk dibagikan kepada yang berhak menerimanya.

Pusaka wajib dibagi menurut semestinya sesuai dengan hukum yang telah ditentukan dalam al-Qur’an. Adapun setelah diterima kemudian diberikan kepada saudaranya yang dianggap lemah ekonominya dalam lingkungan keluarganya itu terserah. Namun, harta benda itu wajib dibagi menurut semestinya, sesuai dengan hukum yang telah ditentukan dalam al-Qur’an.


Ilmu Mawaris, Ilmu Faraid, Ilmu Waris Islam


B. Tujuan Ilmu Faraid (Ilmu Mawaris)
Tujuan ilmu faraid (ilmu mawaris) ialah untuk menyelamatkan harta benda si mati agar terhindar dari pengambilan harta orang-orang yang berhak menerimanya dan agar jangan ada orang-orang yang makan harta hak milik orang lain, dan hak milik anak yatim dengan jalan yang tidak halal. Inilah yang dimaksud Allah swt. dalam firman-Nya :

وَلا تَأكُلوْا امْوَالكُمْ بَيْنَكُمْ بِالبَاطِل

Artinya : “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil.” (Al-Baqarah [2] : 188)

C. Kedudukan Ilmu Faraid (Ilmu Mawaris)
Orang-orang yang mempunyai ilmu faraid (ilmu mawaris) hampir sudah tidak ada, dan pembagian waris yang diatur menurut syari’at Islam sudah tidak banyak dilaksanakan oleh umat Islam sendiri. Kalau ada orang yang mati meninggalkan harta pusaka, tidak segera dibagikan kepada yang berhak menerimanya, sehingga akhirnya harta pusaka itu habis tidak terbagi.

Rasulullah saw. sudah mensinyalir keadaan yang demikian, sehingga beliau sangat menekankan kita kaum muslimin untuk mempelajari ilmu faraid (ilmu mawaris), karena ilmu ini lama-lama akan lenyap, yakni orang-orang menjadi malas untuk melaksanakan pembagian pusaka menurut semestinya, yang diatur hukum Islam.

Rasulullah saw. bersabda :

تعَلَّمُواالْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوْهَاالنَّاسَ فَاِنِّى امْرُؤٌمَقبُوْضٌ وَاِنَّ الْعِلْمَ سَيُقبَضُ وَتَظْهَرُالْفِتَنُ حَتّى يَخْتَلِفَ اِثنَانِ فِى الْفَرِيْضَةِ فَلايَجِدَانِ مَنْ يَّقضِيْ بَيْنَهُمَا ( رواه الحاكم )

Artinya : “Pelajarilah faraid (pembagian harta warisan) dan ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku adalah seorang manusia yang bakal dicabut nyawa. Dan sesunguhnya ilmu itu pun akan ikut tercabut pula. Juga akan hadir fitnah-fitnah sehingga terjadilah perselisihan antara dua orang karena hal warisan. Kemudian mereka berdua itu tidak mendapatkan orang yang akan memberi keputusan (terhadap masalah yang diperselisihkan itu) di antara mereka berdua berdua.” (Riwayat Al-Hakim)

D. Hukum Mempelajari Ilmu Faraid (Ilmu Mawaris)
Mempelajari ilmu faraid (ilmu mawaris) hukumnya fardhu kifayah, artinya kalau dalam segolongan umat sudah ada orang yang mengerti dan memahami ilmu faraid (ilmu mawaris), yang lain tidak lagi diwajibkan mempelajarinya. Sedangkan apabila dalam segolongan umat sama sekali tidak ada yang mengerti ilmu faraid (ilmu mawaris), maka segolongan umat itu berdosa.

Mengapa hukum waris Islam merupakan segi hukum yang sangat penting, sehingga digolongkan fardhu kifayah. Dalam kaitan ini Rasulullah saw. bersabda :

تَعَلَّمُوْاالْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوْهَافَاِنَّهَانِصْفُ الْعِلْمِ وَهُوَيُنْسى وَهُوَ اَوَّلُ شَيْءٍ يُنْزَعُ مِنْ اُمَّتِى

Artinya : “Pelajarilah faraid dan ajarkan dia karena ia seperdua ilmu dan ia akan dilupakan dan dialah yang pertama akan dicabut dari umatku.” (Riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni)

Peringatan Rasulullah saw. ini betul-betul nyata sekarang. Banyak ulama yang mengerti berbagai ilmu, tetapi dalam ilmu faraid (ilmu mawaris) makin lama makin dilupakan orang. 
   والله اعلم
Silahkan baca juga Asas-asas Muamalat 
Read more ...

Saturday, 25 June 2011

AN APPROACH TO THE STUDY OF RELIGION

There is a crucial question about the study of religion. The question is “Is it possible to study religion scientifically?” Religion is a social phenomenon as are politics, economics, psychology, anthropology and the like. These social sciences can be studied scientifically, so can religion. Religion is a universal phenomenon and is the most important ingredient in the study of human life.

There are two approaches to the study of religion. These approaches are linked through the unbroken line of the two extremes. The first approach is normative and the other is descriptive. The normative approach is based on the criteria of what is true and good and what is bad, what one ought to do and ought not to do. This is based on the personal internal experiences of the religion founder or the messenger in contact with the divinity; the transcendental experience. This approach can be looked at two ways. The first one is theology, that is an attempt to give a systematic traditional expression of religious experience. In Islam it is called the “aqa’id”, something which must be accepted and believed. The second way is religious ethics or moral behaviour: how to act with one’s fellow man. The second approach is descriptive which is based on intellectual curiosity rather than on belief.


study of religion

There are a number of disciplines which will help in understanding religion. The first is the history of religion: looking at religious behaviour historically. The second is the psychology of religion: understanding the mental process and feeling of religious people, and the last is the sociology of religion: trying to understand how religious groups organized themselves, the role of religious institutions, religious leaders, law, and the state. Using the descriptive approach, it is possible to study religion scientifically.

(Adapted from a lecture by Prof. Dr. Charles J. adams)
Read also Rekonstruksi Makna Jihad
Read more ...

Sunday, 19 June 2011

EQUALITY IN ISLAM

Islam considers all human beings as equal. There is no difference between them because of race, colour, or tongue. All of them belong to one family and come from origin.

This was not the case before Islam came to the Arabian peninsula. Before Islam, each tribe considered its members to be superior to those of other tribes, and this made life very difficult between them. They could not deal with each other properly, and they led a difficult life; there was severe fighting almost continuously between the tribes of Arabia because of their attitude towards one other. Might was right, so the weak had practically no rights.

When Islam came, it was a long step towards correcting the attitudes of the Arab people, and making them aware of their brotherhood with others. The poorer people and the humbler tribes were quick to follow the Prophet because they saw in Islam a hope of leading a good life, for in Islam they heard something they had never heard before. The voice they heard gave them hope that people could live as equal human beings.

But at the same time, their accepting Islam was a reason for the leaders of the tribes to object to the call of the Prophet, because it was hard for them to consider these weaker people as their brothers.


equality Islam

The Prophet himself emphasized this by his actions and his behaviour, by treating all human beings as his equals, even his slaves. There is an interesting story about this. It is related that the Prophet’s wife, Khadija had a slave called Zaid, whom she gave to the Prophet to help him with his personal affairs. The Prophet treated him as his son, and the youth never left he was a slave. According to the law of Arabia before Islam, when war broke out between two tribes the winner could take the women and children of the defeated tribe as slaves. Zaid had become a slave on one of these occasions, and he moved from one hand to another until finally he reached the hand of the Prophet. His father and uncle were looking for him every where. At last they discovered that he was in Mecca with the Prophet Muhammad, and they went to Mecca and asked the Prophet to return Zaid to them.

They offered the Prophet whatever he wanted as exchange for the boy. When the Prophet heard this, he called Zaid to him and said: “This is your father, and this is your uncle.”

Zaid recognized them, and said he knew who they were. The Prophet said: “If you want to go with him, you are free to go, and if you want to stay, you are welcome to stay.” The Prophet left the choice with the boy, and what Zaid answered astonished his father and his uncle: Zais refused to go with them, and said to the Prophet: “I will never prefer anyone to you, not even my father.” His father and uncle were surprised and annoyed, and said: “What are you saying, Zaid, do you prefer slavery to freedom?”
“No,” said Zaid, “but there is no one who could treat me like the Prophet treats me!”

When the Prophet saw that, he wanted to please the father and uncle of Zaid, and he went out in public and announced that Zaid was not his slave, but his son. This shows us the new system the Prophet introduced among Arabic people, with equality for each man, no matter what his tribe or colour.
Read also An Approach to The Study of Religion
Read more ...

Friday, 17 June 2011

SEJARAH TERJADINYA PERANG JAGARAGA

Sejarah terjadinya Perang Jagaraga dalam artikel ini mencoba mendeskripsikan sejarah terjadinya Perang Jagaraga yang terjadi di Pulau Bali pada tahun 1846 – 1849. Semenjak dahulu Belanda berhasrat untuk menanamkan kekuasaannya di Pulau Bali. Hasrat tersebut belum dapat terpenuhi karena Belanda belum menemukan alasan yang kuat untuk menyerang pulau Bali. Waktu itu di Pulau Bali terdapat kerajaan-kerajaan, yaitu : Buleleng, Karangasem, Gianyar, Klungkung, Tabanan, Badung, Mengwi, Jembrana, dan Bangli.

Sejak zaman dahulu, di Pulau Bali berlaku suatu hukum adat yang disebut hak tawan karang, yaitu : bila ada suatu kapal yang terdampar di pantai Pulau Bali, muatan kapal beserta penumpangnya menjadi milik raja setempat. Kapal-kapal Belanda banyak yang melalui perairan di Pulau Bali. Dengan adanya hak tawan karang itu Belanda menganggap membahayakan bagi keselamatan harta bendanya beserta awak kapalnya.

Oleh karena itu, pada tahun 1839 Belanda mengadakan perjanjian dengan semua raja di Pulau Bali agar hak tawan karang itu dihapuskan. Sebagai gantinya Belanda akan membayar sejumlah uang untuk setiap kapal yang terdampar di pantai Pulau Bali. Akan tetapi kenyataannya janji Belanda itu tidak pernah ditepati. Pada tahun 1844, raja Buleleng merampas kapal Belanda yang secara kebetulan terdampar di Pantai Buleleng. Belanda mengadakan ultimatum agar muatan kapal yang terdampar itu dikembalikan kepada Belanda. Karena ultimatum itu tidak dihiraukan oleh raja Buleleng maupun oleh patihnya yang bernama Gusti Ktut Jelantik, maka terjadilah perang yang disebut Perang Buleleng. Pada akhir Juni 1846 Belanda mengerahkan angkatan darat dan angkatan laut untuk menyerang Buleleng. Walaupun raja Buleleng mendapat bantuan dari raja Karangasem—karena persenjataan Belanda jauh lebih lengkap dan modern—pasukan Belanda berhasil dapat merebut benteng dan menduduki keraton.

sejarah perang jagaraga, perang jagaraga

Dalam perkembangan selanjutnya raja Buleleng dan raja Karangasem terpaksa menandatangani perjanjian, yang isinya :


Raja Buleleng dan raja Karangasem menyatakan bahwa daerah-daerahnya merupakan bagian dari Hindia Belanda.
Raja Buleleng dan raja Karangasem tidak boleh mengadakan hubungan dengan bangsa Eropa,kecuali dengan bangsa Belanda.
Hak tawan karang raja-raja Bali harus dihapuskan.

Setelah Belanda mengadakan perjanjian tersebut, pasukannya banyak yang ditarik kembali ke Pulau Jawa. Sebab Belanda mengira sudah berhasil menundukkan Bali. Ternyata perkiraan Belanda itu meleset. Sebab hak tawan karang diberlakukan lagi oleh raja-raja Bali. Untuk menghadapi Belanda, raja Karangasem, Buleleng, dan Klungkung bersatu untuk menghimpun kekuatan. Mereka memusatkan pertahanannya di Benteng Jagaraga.
Setelah Belanda mendengar berita bahwa hak tawan karang diberlakukan lagi, maka pada tahun 1849 Belanda mengirimkan pasukannya ke Bali di bawah pimpinan Jenderal Miechiels, dengan tujuan menghancurkan Benteng Jagaraga yang dipertahankan oleh Gusti Ktut Jelantik. Pasukan Belanda ternyata tidak berhasil menggempur Benteng Jagaraga, karena jumlah pasukan dari ketiga kerajaan tersebut lebih besar. Maka Belanda kembali ke Batavia untuk mendatangkan pasukannya yang jumlahnya lebih besar dari pasukan ketiga kerajaan tersebut.
Pada pertengahan April 1849 Belanda menyerang Bali dengan pasukan yang lebih besar. Pasukan Karangasem, Buleleng, dan Klungkung walaupun berjuang dengan gigih masih terdesak juga oleh Belanda. Bahkan Benteng Jagaraga yang menjadi pusat pertahanan raja-raja Bali berhasil direbut oleh Belanda. Dengan demikian Bali Utara dapat dikuasai oleh Belanda, tetapi Bali Selatan belum bisa ditundukkan oleh Belanda. Oleh karena itu, serangan Belanda diteruskan ke selatan. Raja Karangasem mengadakan puputan, yaitu : perlawanan sampai mati oleh seluruh keluarga kerajaan beserta pengikut-pengikutnya.

Setelah Belanda berhasil menguasai Karangasem, lalu meneruskan serangannya ke Klungkung. Meskipun Benteng Kusumba dipertahankan secara mati-matian, pada akhirnya dapat juga direbut oleh Belanda. Dalam pertempuran untuk merebut Benteng Kusumba, Jenderal Miechiels tewas. Dengan tewasnya Jenderal Miechiels, serangan Belanda terhadap raja-raja di Bali yang belum tunduk menjadi dahsyat lagi. Raja-raja yang belum tunduk itu, dipaksa oleh Belanda untuk menandatangani suatu perjanjian yang berisi :
Raja-raja Bali harus bersedia menerima kedatangan Belanda di Bali.
Raja-raja Bali tidak boleh mencampuri urusan pemerintahan dari kerajaan-kerajaan lain.
Demikianlah sejarah terjadinya perang jagaraga. Semoga bermanfaat.  
Silahkan baca juga Terapi Akal Sehat Sejarah


 
  


 
 
    Read more ...
    Designed By Blogger Templates