Suasana islami seperti itu sudah menjadi identitas bulan Ramadhan di Indonesia. Sehingga bukan tidak mungkin, seseorang tidak merasa berpuasa secara sempurna ketika misalnya pada bulan itu tidak memakai baju koko, tidak memakan kurma, kolak, atau tidak mendengarkan lagu-lagu islami.
Kebutuhan untuk menyambut bulan puasa inilah yang kemudian secara cerdik dijadikan potensi bisnis yang luar biasa oleh kalangan industri. Segala macam suasana, bahkan yang bersifat "religius" sekalipun dapat dijadikan ceruk bisnis. Begitulah, para pedagang secara tak kasat mata menyelinap ke berbagai sisi kehidupan kita, hampir setiap detik. bulan Ramadhan dikemas dan dicitrakan sedemikian rupa sehingga bisa mengeruk keuntungan material bagi para pelaku industri.
Sementara itu, makna puasa yang hakiki bersunyi-sunyi di pojok, tersumbat oleh berbagai acara seremonial karena jarang orang yang menengok. Puasa lebih banyak dimaknai sebagai ritual tahunan di mana pada siang hari orang menahan diri untuk tidak makan, tidak minum, tidak melakukan hubungan seksual, dan pada malam hari melaksanakan shalat tarawih.
Tidak banyak terungkap bahwa puasa hanyalah sarana untuk mencapai derajat taqwa, seperti yang termaktub dalam surat al-Baqarah : 183, "Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa." Mengapa taqwa? Karena taqwa merupakan jenjang tertinggi dari seluruh prosesi keagamaan kita. Dengan taqwa seseorang akan meraih predikat manusia sempurna (insan kamil). Sempurna tidak hanya secara vertikal (hubungan dengan Tuhan), tapi juga horizontal (hubungan dengan sesama). Dari sinilah kita mengetahui fungsi dan relevansi ibadah puasa.
Silahkan baca juga Monoteisme dalam Islam