Friday, 3 October 2014

SEJARAH KERAJAAN GOWA DAN TALLO

Pada abad ke-16 di Sulawesi Selatan ada dua kerajaan kembar, yaitu Kerajaan Gowa dan Tallo. Hubungan kedua kerajaan itu sangat baik, sehingga keduanya dapat mewujudkan satu kerajaan yang terkenal dengan nama Kerajaan Gowa Tallo atau Kerajaan Makasar ibukotanya Sombaopu. Pada sekitar tahun 1605 oleh Dato ri Bandang (dari Sumatera), agama Islam disiarkan di kerajaan tersebut. Karena adanya kerjasama yang erat, Kerajaan Gowa Tallo tumbuh menjadi kerajaan besar dan maju. Kedua kerajaan itu diperintah bersama-sama oleh Daeng Manrabia dan Karaeng Matoaya. 

Kerajaan Gowa diperintah oleh Daeng Manrabia dengan gelar Sultan Alauddin, sedangkan Kerajaan Tallo diperintah oleh Karaeng Matoaya dengan gelar Sultan Abdullah. Selain sebagai raja di Tallo, Sultan Abdullah juga merangkap sebagai mangkubumi di Kerajaan Gowa. Dalam pemerintahan kedua raja ini, agama Islam berkembang dengan pesat di Sulawesi Selatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Gowa dan Tallo merupakan kerajaan Islam pertama di Sulawesi.

gowa, tallo


Kerajaan Makasar tumbuh menjadi negara maritim, karena letaknya di persimpangan jalan perniagaan, yaitu :
  • Jalur ke utara        : menghubungkan Philipina dan Cina,
  • Jalur ke timur        : menghubungkan Indonesia Timur,
  • Jalur ke selatan     : menghubungkan Nusa Tenggara,
  • Jalur ke barat        : menghubungkan Indonesia Tengah dan Indonesia Barat.
Oleh karena letaknya yang sangat strategisitu maka pelabuhan Makasar (Sombaopu), didatangi banyak kapal dagang antara lain dari Jawa dan Melayu. Mereka itu datang ke Sombaopu untuk membeli rempah-rempah yang sebelumnya sudah dipersiapkan oleh pedagang-pedagang Makasar. Dengan menggunakan perahu-perahu layar pinisi pedagang-pedagang Makasar berlayar ke Maluku untuk membeli rempah-rempah yang kemudian dijual ke Sombaopu. Dengan demikian Sombaopu menjadi pelabuhan transito yang sangat ramai, sehingga pedagang-pedagang yang bertempat tinggal di sekitar Makasar tidak perlu lagi pergi ke Maluku untuk membeli rempah-rempah. Kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada zaman pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653- 1669).
Silahkan baca juga Sejarah Kerajaan Cirebon 

  
Read more ...

Friday, 11 July 2014

MEMILIH PEMIMPIN YANG AMANAH

Memilih pemimpin yang amanah memang bukan pekerjaan yang mudah tapi bukan hal mustahil yang bisa kita lakukan. Seorang pemimpin memang wajib bersifat amanah, karena jabatan/kekuasaan adalah suatu amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Sebagai pelajaran sekaligus renungan bagi kita, mari kita perhatikan jawaban surat yang diajukan Umar Ibn Abdul Azis (tatkala diangkat menjadi seorang khalifah) kepada seorang ulama besar yang bernama Hasan al-Basri.
Al-imamul adil, wahai amirul mukminin, bagaikan ibu
yang belas kasih terhadap anaknya; rela menanggung beban mengandung 
dan melahirkannya; mendidiknya penuh kesabaran;
menjaganya siang malam; gembira bila anak-anaknya sehat dan
sedih ketika ada keluhan sakit darinya.
Potongan kalimat di atas adalah sebagian isi jawaban surat dari Hasan al-Basri kepada Umar Ibn Abdul Azis. Keingina yang kuat dalam diri Umar Ibn Abdul Azis agar dapat menjalankan amanah dengan baik, membuat dirinya bersegera menulis surat kepada ulama Hasan al-Basri untuk memohon petunjuk tentang bagaimana seharusnya memnjadi pemimipin yang amanah dan adil.

Dalam sejarah kita tahu bahwa Umar Ibn Abdul Azis merupakan seorang khlalifah yang sukses dalam memimpin, tidak hanya dalam bidang politik, melainkan pula dalam bidang ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, serta keamanan. Mencermati surat di atas, memang tepat sekali perumpamaan yang dipilh oleh ulama besar Hasan al-Basri mengenai sosok pemimpin pada rakyatnya. Yaitu seperti seorang ibu yang penuh kasih sayang pada sang anak, begitu juga seharusnya seorang pemimipin pada rakyatnya. Penuh perhatian pada rakyat merupakan sebuah sifat yang seharusnya ada dalam diri seorang pemimpin. Sehingga kekuasaan yang berada pada tangannya dijadikan alat guna mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya, dan bukan sebaliknya. Yaitu menjadikan dirinya sebagai prioritas utama dalam menggapai kesejahteraan, kemudian baru rakyatnya.

soekarno, hatta

Dalam kaitan inilah, tepat kiranya jika kita mengambil pelajaran dari sosok Nabi Muhammad saw. yang menjadikan diri beliau seorang pemimpin yang merasakan lapar lebih dahulu, dan merasa kenyang di saat umatnya telah merasa kenyang. Artinya, kepentingan dan kesejahteraan umatlah yang menjadi prioritas utama dalam menjalankan roda kepemimpinannya. Hal itu dapat dibuktikan antara lain dengan tidak adanya istana dan singgasana yang dimiliki oleh Nabi Muhammad saw. Bahkan alas beliau pun hanyalah pelepah kurma yang membekas di tubuh beliau, bukan kasur empuk, sebagaimana dimiliki oleh para pemimpin atau penguasa lainnya.

Dalam kaitannya dengan hajatan pemilihan presiden dan wakil presiden di republik ini, dimana proses pemilihannya dilakukan secara langsung, menjadi tugas kita bersama untuk menentukan pilihan pada calon pemimpin yang kita anggap dapat mengemban amanah serta dapat mengemban tugas dengan baik. Paling tidak, apa yang telah dilakukan oleh para kandidat presiden dan wakil presiden pada masa silam, dapat menjadi rujukan kita dalam menentukan pilihan. Sifat-sifat yang lebih mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, golongan dan partainya, merupakan diantara pertimbangan kita dalam menentukan pilihan pada calon pemimpin negeri ini. Sehingga harapan dan keinginan kita bersama agar negara ini keluar dari krisis yang berkepanjangan (terutama agar negara ini bebas dari korupsi yang sangat menyengsarakan rakyat), bukanlah hanya sebuah impian indah semata. Semoga bermanfaat.
Silahkan baca juga Renungan Untuk Para Pejabat  


    
Read more ...
Designed By Blogger Templates